Mengenai ibadah qurban untuk keluarga yang sudah meninggal, Imam Nawawi berkata dalam Minhajut Thalibin (2005, h.321) bahwa seseorang tidak sah berqurban untuk orang lain (yang masih hidup) tanpa seizinnya, dan tidak sah pula untuk orang yang telah meninggal apabila tidak berwasiat untuk disembelihkan qurban.
Pada dasarnya, ibadah qurban disunnahkan kepada muslim yang masih hidup, sama seperti ibadah yang lain karena berkaitan dengan syarat-syarat taklif secara umum, antara lain baligh, berakal, mampu (qudrah), kemauan sendiri (ikhtiyar), dan mengetahui apa yang dibebankan (al-ilmu bi at-taklif). (Lihat: Ushul Fiqh alladzi laa yasa’u Al-Faqih Jahlahu, ‘Iyadh As-Sulami, 2005, h.70-71)
Seseorang yang telah meninggal maka secara prinsip sudah terlepas dari syarat-syarat tersebut sehingga tidak ada beban syariat qurban atas dirinya, kecuali jika ia bernadzar berqurban lalu meninggal sebelum sempat berqurban atau berwasiat agar disembelihkan qurban dari hartanya. Jika demikian yang terjadi maka yang masih hidup wajib melaksanakannya.
Allah SWT berfirman:
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 181)
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Aquran Al-Azhim (2008, h.i/315) mengatakan secara umum bahwa siapa saja yang mengubah wasiat dengan menambah, mengurangi, atau menyembunyikan maka ia berdosa. Pewasiat yang meninggal tetap mendapatkan pahalanya sedangkan si penerima wasiat yang lalai akan mendapat dosa.
Syaikh Abdullah Al-Fauzan dalam Minhatul ‘Alam (1438H, h.ix/275) mengatakan bahwa jika si mayit telah berwasiat agar disembelihkan qurban dari sebagian harta atau keuntungan wakafnya, maka keluarganya wajib menunaikan. Bahkan qurban tersebut tidak bisa diganti dengan sedekah dengan harta senilai hewan qurban.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (n.d., h.viii/406) mengutip pendapat Imam Ar-Rafi’i, Al-Baghawi, dan At-Thabari bahwa menyembelih qurban untuk keluarga yang sudah meninggal jika diwasiatkan maka hukumnya sah. Ini adalah pendapat yang kuat di kalangan Syafiiyah.
Adapun jika seseoang telah bernadzar untuk berqurban lalu meninggal sebelum sempat menunaikannya maka keluarga atau ahli waris wajib melaksanakannya. Hal itu karena hukum asal qurban adalah sunnah, tetapi menjadi wajib jika telah dinadzarkan. Allah SWT berfirman:
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka.” (QS Al-Hajj: 29)
Imam Ibnu Katsir (2008, h.v/265) mengutip pendapat Mujahid dari Ibrahim bin Maisarah bahwa yang dimaksud dengan ‘menyempurnakan nadzar’ (وليوفوا نذورهم) adalah nadzar untuk menyembelih qurban atau hadyu.
Diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nadzar tersebut. Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR Bukhari 6696)
Telah didokumentasikan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (1986, h.v/106) bahwa apabila seseorang bernadzar untuk qurban lalu meninggal sebelum melaksanakannya maka ahli warisnya wajib melaksanakan nadzar tersebut.
Bagaimana jika yang meninggal tidak pernah bernadzar atau tidak meninggalkan wasiat untuk qurban?
Imam Nawawi mengutip pendapat sebagian Syafiiyah seperti Abul Hasan Al-‘Abadi bahwa hal itu boleh, karena memandang qurban sama dengan sedekah. Adapun sedekah atas nama orang yang meninggal itu sah dan pahalanya sampai berdasarkan hadits Nabi SAW dan ijma’. (Al-Majmu’, n.d.: viii/406)
Allahu A’lam
Baca juga: Abon Kita Qurban IZI, Solusi Qurban di Tengah Pandemi, Chef Ragil : “Kualitas Daging Lebih Terjaga”
Leave a Reply