Perselisihan merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan, tak terkecuali dalam berkeluarga. Karena –bagaimana pun- perselisihan merupakan ‘keniscayaan’. Karena tanpa perselisihan, orang tidak akan menemukan kebenaran di balik ‘kelemahan’ dan tidak akan menemukan kebenaran ‘yang sebenarnya’.
Demikianlah, rumah tangga sebenarnya dalah miniature kehidupan, pun tidak akan lepas dari yang namanya sunnatullah yaitu mengalami pasang surut. Orang beriman akan menyadari bahwa Allah akan berada di balik semua. Ada hikmah yang harus diambil sebagai pelajaran.
Resep Rasulullah saw agar perselisihan dan pertengkaran dalam keluarga tetap terkendali pada koridor yang wajar dan sunnah adalah:
“Sesungguhnya amarah itu bara dari api neraka, maka barang siapa kedapatan marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah, jika duduk masih marah maka berbaringlah.” Dalam riwayat yang lain, berwudhulah.
Perselisihan dalam rumah tangga, antara suami istri, tidak bisa lepas dari teori klasik. Bahwa kekuatan laki-laki itu pada nalarnya. Sedangkan perempuan ada pada perasaan-perasaannya. Maka, tak heran kalau dulu ada yang ngomong bahwa ‘melawan’ perempuan itu jangan dengan nalar, tapi dengan perasaan. Sebab kalau dengan nalar, akan berbuah emosi (setan). Lain halnya kalau melalui sentuhan perasaan, sekuat apapun perasaan perempuan itu, pasti akan luluh.
Cemburu Boleh, Curiga Jangan
Cemburu yang gelap dan berulang-ulang pada sesuatu yang tidak meragukan dan terlalu sering. Cemburu mempersempit ruang gerak suami atau istri serta dapat mendekatkan pihak ketiga (dalam kehidupan rumah tangga). Dan jika jiwanya lemah dan keimanannya telah hilang, bisa jadi akan melakukan berbagai perbuatan haram.
Sebaik-baik istri adalah mereka yang menjadi pembela suaminya. Bukan malah bekerja sebagai intelijen yang selalu mencurigai dan menginterogasi saat suaminya datang atau pulang ke rumah. “Dari mana kamu? Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu terlambat? Siapa yang kamu ajak bicara? Nomor telepon siapa ini? Apa yang kamu katakan?” dan berbagai pertanyaan lain yang membuat suaminya tidak nyaman dan tertekan dalam melakukan aktivitas.
Untuk mencegahnya, maka intensitas komunikasi dan keterbukaan adalah solusinya. Biasakan selalu memberitahu istri tatkala suami pergi atau pulang terambat, demikian sebaliknya. Tanpa harus ditanya: dari mana dan kenapa terlambat? Sebab pertanyaan pendek itu tak nyaman di dengar karena sudah mengundang dan mengandung bibit kecurigaan yang akan berkembang jadi perselisihan bahkan pertengkaran ketika tidak dikelola dengan baik.
Menguatkan Amanah Cinta
Mengatasi rasa was-was pada pasangan bisa dimulai dengan merabuk kembali amanah cinta secara continue atas pasangan. Amanah tersebut sangat diperlukan, karena dapat memberi nafas bagi ruang gerak aktivitasnya, baik dalam lingkungan kerja maupun sosialnya. Terlebih, manakala keduanya sama-sama aktif sebagai pekerja, dimana tidak setiap saat bisa bertatap muka dalam intensitas waktu rutin, kecuali hanya melalui seluler.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya, kedua belah pihak saling mengenalkan kawan-kawan dekatnya. Sehingga, akan terjalin komunikasi, terbukanya pintu silaturrahim dan hilangnya saling kecurigaan.
(susi)
Oleh: Musbahul Huda, dalam buku “Ummi Inside, Inspirasi Ibu Cerdas untuk Ibu Cerdas”
Leave a Reply