Bolehkah bayar zakat fitrah dengan uang ?
berikut penjelasaan Biro Kepatuhan Syariah LAZNAS Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) mejawab :
Landasan dari wajibnya zakat fitrah pada bulan Ramadhan adalah riwayat dari Abdullah bin Umar bin Khattab ra:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ، أَوْ عَبْدٍ، أَوْ رَجُلٍ، أَوِ امْرَأَةٍ، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan kepada semua jiwa kaum muslimin, baik merdeka, hamba sahaya, laki-laki, perempuan, kecil, maupun besar. (Banyaknya adalah) 1 Sha’ kurma atau 1 Sha’ gandum jelai. (HR Bukhari 1503, Muslim 984, Malik 52, Ahmad 5303, Tirmidzi 675, Ibnu Majah 1825, Nasai 2500. Lafaz hadits berdasarkan riwayat Muslim)
Setiap kali memasuki bulan Ramadhan, akan muncul pertanyaan yang terkait dengan zakat fitrah, yakni, “Bolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai (uang), bukan dengan barang (‘ain) atau beras? Apa dalilnya?”
Beberapa hal yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut antara lain:
- Secara tekstual redaksi hadits zakat fitrah, disebutkan bahwa zakat fitrah ditunakan berupa jenis makanan seperti kurma, gandum, kurma basah, dll.
- Dilihat dari kebutuhan mustahik, mereka bukan hanya memerlukan makanan tertentu seperti beras, tetapi juga yang lainnya.
- Pada saat ini, sebagian muzaki menghendaki sesuatu yang praktis dengan membayar zakat fitrah dengan uang.
Menurut Abdul Aziz Muhammad Rasyid Jamjum (Az-Zakatu fil Mizan; Zakatul Maal bainan Nazhariyati wat Tathbiq. Hal. 367), penyebab perbedaan pendapat dalam hal boleh tidaknya membayar zakat dengan nlai adalah perbedaan persepsi dalam memandang hakikat zakat, apakah zakat adalah ibadah dan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah swt), atau kewajiban atas harta orang kaya untuk fakir miskin atau (sejenis) pungutan yang diwajibkan kepada harta siapa saja yang telah mencapai nishab.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya membayar zakat dengan nilai (uang), bukan dengan benda atau ‘ain-nya, yakni kurma, gandum, atau beras. Sebagian ulama melarang sedangkan dan sebagian lagi membolehkan. Berikut rincian pendapatnya:
Pendapat pertama: Melarang membayar zakat fitrah dengan nilai (uang).
Ulama yang berpendapat melarang atau tidak membolehkan membayar zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal, memiliki dasar sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Juwainiy dari kalangan Syafi’iyah bahwa zakat adalah Qurbatun lilallaahi ta’ala (mendekatkan diri kepada Allah swt). Pelaksanaannya wajib mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah swt. Hal itu seperti apabila seseorang memerintahkan wakilnya untuk membeli baju, maka wakilnya tidak bileh membeli selain baju atau benda apapun yang lebih bermanfaat bagi yang memerintahkannya.
Syaikh Sayyid Sabiq (Fiqih Sunnah. Hal. I/381) menyebutkan bahwa zakat adalah ibadah. Ibadah seseorang tidak sah kecuali apabila dilakukan sesuai dengan aturan yang diperintahkan oleh syariat. Orang-orang fakir dan kaya harus merasakan bentuk harta yang sama.
Ibnu Qudamah (Al-Mughi. Hal. III/59) meriwayatkan dari Imam Amad bahwa beliau pernah ditanya, “Aku membayar zakat fitrah dengan Dirham (bagaimana hukumnya?)” Beliau menjawab, “Aku khawatir itu tidak boleh, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw.”
Imam Ahmad juga pernah ditanya, “Orang-orang berkata bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah menghimpun zakat fitrah dengan nilai.” Beliau berkata, “Mereka meninggalkan ucapan Rasulullah saw sementara mereka melaksanakan ucapan fulan. Ibnu Umar ra berkata, ‘Rasulullah telah mewajibkan (zakat fitrah dengan satu Sha’ kurma atau syair).’”
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitrah juga diambil oleh dua imam, yakni Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Ulama yang melarang membayar zakat fitrah dengan nilai (uang) juga berlandaskan pada beberapa riwayat, antara lain:
Pertama, atsar Abi Said Al-Khudhri ra:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami dulu terbiasa membayar zakat fitrah sebesar satu Sha’ makanan, atau satu Sha’ syair, satu Sha’ kurma, satu Sha’ keju, atau satu Sha’ kismis.”
(HR Bukhari 1506 Muslim 985)
Kedua, hadits Ibnu Abbas ra:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang-orang yang berpuasa dari segala kesia-siaan dan kotoran, dan makanan bagi kaum miskin.”
(HR Abu Dawud 1609, Ibnu Majah 1827, Hakim 1488)
Dengan demikian, orang-orang yang membayar zakat dengan nilai (uang) berarti mereka telah meninggalkan nash yang ada, sehingga amal mereka tidak sah, sebagaimana mereka mengeluarkan sesuatu yang buruk sebagai ganti sesuatu yang baik. (Al-Mughni. Hal. III/61)
Pendapat kedua: Membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai (uang).
Menurut Imam Abu Hanifah, hakikat zakat adalah menyalurkan hak orang-orang fakir, sehingga tidak ada perbedaan antara penyaluran dalam bentuk barang ataupun nilainya. Oleh sebab itu, dibolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai (uang). Pendapat tersebut juga menjadi pendapat Atha’, Hasan Al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, dan Imam Bukhari.
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Siba’i, salah satu ulama tabi’in:
أَدْرَكْتُهُمْ وَهُمْ يُعْطُونَ فِي صَدَقَةِ رَمَضَانَ الدَّرَاهِمَ بِقِيمَةِ الطَّعَامِ
“Aku mendapati mereka membayarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan dengan beberapa dirham sebanyak nilai makanan.”
(HR Ibnu Abi Syaibah 10371)
Selanjutnya, riwayat dari Qurrah:
جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ «نِصْفُ صَاعٍ عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ أَوْ قِيمَتُهُ نِصْفُ دِرْهَمٍ»
“Telah sampai kepada kami surat dari Umar bin Abdul Aziz tentang zakat fitrah; setengah sha’ setiap jiwa atau nilainya, yakni setengah dirham.”
(HR Ibnu Abi Syaibah 10369)
Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan dari Muadz bin Jabbal ra secara muallaq bahwa penduduk Yaman boleh membayarkan zakat pertanian mereka dengan sesuatu yang mudah mereka bayarkan senilai dengan zakat mereka.
ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ
“Berikan kepadaku baju khamish atau pakaian sebagai pembayaran gandum dan biji-bijian, karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik (bermanfaat) bagi sahabat-sahabat Nabi di Madinah.”
(HR Bukhari II/116)
Atsar di atas juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra 7372) melalui jalur Thawus.
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra:
…صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرّ
“…(Zakat fitrah) sebesar satu Sha’ kurma atau satu Sha’ gandum syair. Orang-orang menjadikan setengah Sha’ gandum burr.”
(HR Bukahri 1511)
Dalam atsar tersebut, dijelaskan bahwa setengah Sha’ gandum burr nilainya setara dengan satu Sha’ kurma atau satu Sha’ gandum syair. Tidak mungkin syair dan burr apabila nilainya sama tapi boleh digantikan dengan setengah ukuran dari salah satunya.
Menguatkan hal tersebut, terdapat atsar dari Abu Said Al-Khudhri ra dalam Shahih Bukhari:
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»، فَلَمَّا جَاءَ مُعَاوِيَةُ وَجَاءَتِ السَّمْرَاءُ، قَالَ: «أُرَى مُدًّا مِنْ هَذَا يَعْدِلُ مُدَّيْنِ»
“Dahulu kami membayarkan zakat fitrah pada zaman Nabi saw sebesar satu Sha’ makanan, atau satu Sha’ kurma, atau satu Sha’ gandum syair, atau satu Sha’ kismis. Ketika Muawiyah datang dan datang pula gandum samra’ (hinthah), ia berkata, ‘Aku berpendapat bahwa satu mudd samra’ ini sama nilainya dengan dua mudd (syair).’”
(HR Bukhari 1508)
Lebih Sharih lagi, Imam Bukhari (1507) dan Imam Muslim (984) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa orang-orang pada waktu itu ada yang menjadikan pembayaran zakat fitrah dengan barang lain yang senilai, yang mudah untuk mereka keluarkan. Berikut riwayat tersebut berdasarkan lafaz Imam Muslim:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ .فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ.
“Sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan zakat fitrah sebesar satu Sha’ kurma atau satu sha’ gandum syair. Orang-orang lalu menjadikannya yang setara dengan satu Sha’ Syair berupa dua Mudd (setengah Sha’) gandum hinthah.”
Berdasarkan atsar-atsar di atas, menjadi jelas bahwa terdapat sebagian Salafus Shalih yang membayarkan zakat khususnya zakat fitrah dengan nilai satu Sha’ makanan yang dijelaskan secara manshush dari Nabi saw. Selain itu, tidak nampak sama sekali perselisihan pendapat antar mereka tentang boleh atau tidaknya membayar dengan nilai (Dirham/uang).
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi (Fiqhuz Zakah. Hal. II/813) menyebutkan beberapa alasan dibolehkannya membayar zakat fitrah dengan uang:
- Rasulullah saw bersabda:
اغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ
“Cukupkan orang-orang miskin pada hari raya ini supaya jangan meminta-minta.”
(HR Baihaqi 7739)
kata “mencukupkan” mencakup makna makanan sekaligus nilai. Terkadang, nilai makanan lebih utama, sebab apabila makanan terlalu banyak bagi orang fakir, ia bisa saja menjualnya untuk disimpan nilainya. Nilai atau uang dapat digunakan kembali untuk membeli segala kebutuhan seperti makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya.
- Sebagian sahabat (sebagaimana dalam atsar-atsar di atas) membolehkan dengan nilai, karena membolehkan mengeluarkan setengah Sha’ gandum burr yang setara dengan satu Sha’ gandum Syair.
- Pembayaran zakat fitrah dengan uang pada zaman sekarang terutama di wilayah negara industri lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan “barangnya”, karena transaksi antar manusia kebanyakan dengan uang dan bisa lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir.
Munaqasyah Dalil Pendapat Pertama
Menurut Syaikh Qardhawi pula, hakikat zakat ada dua, yakni ibadah dan taqarrub ilallah, sekaligus kewajiban pada harta, yakni menyalurkan hak-hak fakir miskin dari harta orang kaya. (Ibid.Hal. III/811). Akan tetapi, yang lebih kuat adalah bahwa zakat itu menyalurkan hak-hak fakir miskin dari harta orang kaya. Hal itu nampak ketika zakat juga berlaku atas harta milik anak-anak dan orang yang tidak berakal, dimana kedua golongan tersebut tidak dibebankan ibadah (bukan mukallaf). (Ibid. Hal. III/816)
Mengenai atsar Abu Said Al-Khudhri ra yang dijadikan dalil bagi ulama yang melarang pembayaran zakat fitrah dengan nilai, hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan dalil yang membolehkan membayar dengan nilai, karena terdapat riwayat lain dari Abu Said Al-Khudhri ra (HR Bukhari 1508) yang terdapat tambahan di dalamnya bahwa Muawiyah ra menjadikan 1 Mudd samra’ sama nilainya dengan 2 Mudd Syair.
Adapun hadits Ibnu Abbas ra, terdapat kalimat وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ yang berkedudukan dalam kalimat sebagai maf’ul li ajlihi, yang bermakna tujuan diperintahkan suatu amalan. Dalam hal ini, zakat fitrah bertujuan untuk memberikan makanan kepada kaum fakir miskin. Akan tetapi, makanan yang dimaksud di sini lebih kepada arahan bentuk distribusi kepada fakir miskin, bukan membatasi bahwa muzaki harus membayar dengan makanan. Selain itu, atsar ini tidak bertentangan dengan hadits, “Cukupkan orang-orang miskin pada hari raya ini supaya jangan meminta-minta,” karena kecukupan tidak terbatas pada makanan saja, bahkan nilai (uang) lebih layak diberikan bersama dengan makanan agar bisa dibelikan kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Kesimpulan
Setelah membandingkan dalil-dalil kedua pendapat dan menyelami uraian yang disampaikan, dapat kami simpulkan bahwa:
- Pertama: Boleh membayar zakat fitrah dengan qimah atau nilai (uang) karena tidak bertentangan dengan nash-nash tentang kewajiban zakat fitrah.
- Kedua: Berdasarkan pertimbangan maslahat dan madharatnya, pada zaman sekarang, pembayaran zakat fitrah dengan nilai (uang) dipandang lebih maslahat baik bagi muzaki maupun mustahik, karena memudahkan muzaki dalam menunaikan kewajibannya, dan mencukupi mustahik sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
- Ketiga: Bersasarkan telaah nash-nash yang ada, terjadi perbedaan pendapat dalam penunaian zakat fitrah semenjak zaman para sahabat. Akan tetapi, perbedaan itu tidak sampai menjurus pada perselisihan, sehingga memunculkan 2 buah opsi bagi siapa saja yang ingin menunaikan zakat fitrahnya, apakah dengan ‘ain (barang), atau qimah (nilai/uang). Kita semua sepakat bahwa sebaik-baik generasi dan yang paling baik pemahamannya terhadap firman Allah swt dan sabda Rasul-Nya adalah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Mereka telah mewariskan kepada kita sebuah khazanah khususnya dalam pembayaran zakat fitrah dengan menjadikan 2 opsi; ‘ain atau qimah.
Allahu A’lam
Leave a Reply