Di bincang santai bersama mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Surisman Thoyyib menjawab dengan telaten setiap pertanyaan yang diajukan mereka. Ruang Madinah, kantor pusat Inisiatif Zakat Indonesia menjadi hidup dengan gaya cerianya yang berkisah panjang membangun komunitas filantropi di Bandung.
Tim Iniziatif langsung tertarik untuk mengungkit sedikit kisah pria yang dikenal Bang Ries ini, akan pengalamannya selaku amil zakat tersebut. Persoalannya, Bang Ries terlalu sibuk hanya untuk berbicara tentang pribadinya. Mengulas profil diri bagi Bang Ries berdampak pada waktu yang panjang: di mana setiap kata akan dipertanggungjawabkan.
“Saya masih belum bisa jadi figur yang pas. Karena saya malu dengan apa yang saya katakan tapi (nantinya) tidak sesuai kenyataan pribadi, gitu maksudnya,” kilah Bang Ries kepada tim Iniziatif.
Tim Iniziatif melihat ini sebagai sebuah modal di mana pembahasan menjadi seratus persen terkait metode fundraising terkini oleh lembaga zakat tempatnya bekerja.
Pria yang berdomisili di kota Bandung itu banyak melihat perubahan strategi penghimpunan dana yang dilakukan lembaga zakat antara dahulu dengan yang terkini, di mana pola konvensional bergeser kepada teknologi 4.0, yang dikuasai oleh arus digitalisasi informasi. Meski demikian, zakat memiliki karakteristiknya sendiri sehingga pola tatap muka, semacam direct selling masih memiliki kekuatannya tersendiri.
Berbicara zakat artinya berbicara tentang ketentuan agama. Bang Ries melihat lembaga zakat juga tak boleh tutup buku tentang perkembangan teknologi. Artinya bahwa secara kelembagaan mereka harus tetap mengikuti perkembangan itu, apalagi dengan munculnya isu menyongsong bonus demografi milenial di tahun 2020 nanti.
“Itu suatu berkah kan. Karena teknologinya berkembang, orang tinggal pegang ponsel semua beres. Mau jalan, mau makan, mau cari baju, mau apapun, termasuk zakat (pake aplikasi ponsel). Mau gak mau harus ikut pergeseran itu,” lanjutnya.
Milenial Indonesia merupakan lumbung uang masa depan yang atmosfernya terasa dari jauh-jauh hari. Potensi ini mengarah kepada komunitas karena ciri khas milenial itu sendiri. Oleh karenanya, IZI mulai melaksanakan strategi funding terarah kepada komunitas, dan menjadi lebih banyak metode akibat hadirnya teknologi digital ini.
Manajer Corporate Secretary IZI itu salah satu pribadi yang percaya teknologi digital akan menambah khazanah strategi marketing yang ada sebelumnya. Sama halnya dengan zakat yang tak akan lekang dimakan waktu. Zakat baginya komoditas kaum muslimin yang wajib dilaksanakan, dan tidak akan menjadikan Muzaki (pembayar zakat) bangkrut. Justru, akan menambah keberkahan dunia dan akhirat.
Zakat menggunakan tools marketing apapun akan tetap relevan. Produk zakat akan dirasakan langsung oleh kaum dhuafa. Sedangkan model bisnisnya berorientasi kepada surga yang dijanjikan Allah SWT; suatu keuntungan yang belum terasa langsung oleh pendonornya. Maka daripadanya, Trust (Kepercayaan) adalah hidup dan mati lembaga filantropi.
“Apapun strateginya, bisnisnya tetap TRUST. Kita tuh, jual kepercayaan sebenarnya. Mau pakai cara apapun, kalau gak ada trust-nya (akan jadi bencana). Tetap kan harus ada laporan. Maksudnya adalah bagaimana (transparansi) manajemen uang masuk dan uang keluar (harus bisa dipertanggungjawabkan). (DH)
Leave a Reply