Salah satu keistimewaan agama Islam adalah nama “Islam” itu sendiri lahir dari Firman Allah SWT yang terdapat pada Surat Ali Imran, ayat 19, yang berbunyi :
“Sesungguhnya agama yang diterima Allah, hanyalah Islam.”
Secara terminologi “Islam” memiliki beberapa makna. Islam bisa berarti “tunduk dan patuh”, bisa juga diartikan sebagai “keselamatan”, “sejahtera”, atau “damai”.
Sejatinya, seorang pemeluk agama Islam adalah pribadi yang memberikan keselamatan. Hal ini sebagaimana terminologi Islam itu sendiri; Ia-nya mampu memberikan solusi di balik masalah, dan kesejahteraan di balik hajat hidup orang banyak, layaknya pesan Nabi Saw, yang mengatakan,
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pernah di zaman para Tabi’in, seorang imam bernama Syaqiq Al-Balkhi menemui pengalaman unik di tengah gurun sahara. Ia temukan seekor burung dengan sayap patah tergeletak tak berdaya; hingga membuatnya termenung.
“Siapa kah yang memberi makan kepada burung ini, sehingga dia mampu bertahan hidup di tengah padang sahara yang panas ini?” renungnya.
Tak berselang lama, hadir seekor burung yang lain bawakan makanan kepada temannya yang terluka. Ia lalu hinggap di sampingnya seraya meletakkan makanan ke paruh temannya yang tak berdaya tersebut. Setelahnya, burung itu terbang kembali mengangkasa.
Kejadian tersebut memberikan ilham kepada sang imam terkait rezeki, dan bergumam, “Dia (Allah) yang telah mengirim burung itu ke padang sahara, hanya untuk memberi makan burung bersayap patah. Tentu Allah sanggup memberiku rezeki kapan pun dan di mana pun aku berada.”
Syaqiq pun memutuskan tak lagi bekerja, dan hanya menyibukkan diri beribadah kepada Allah Ta’ala. Melihat ini, Imam Ibrahim bin Adham bertanya kepada Syaqiq, “peristiwa apa yang membuatmu mencapai kedudukan mulia ini?”
Setelah mendengar cerita Imam Syaqiq, Ibrahim terkejut karena sang imam memilih menjadi burung yang patah sayapnya ketimbang burung yang memberikan makan kepada sesamanya, seraya mengutip hadits di atas.
“Seorang muslim dalam segala urusannya, apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka ia akan memilih yang lebih tinggi dan utama,” lanjutnya menyakinkan.
Syaqiq pun tersadar atas kekhilafannya. Ia segera memegang tangan Ibrahim, lalu menciumnya dan berkata, “engkau adalah guruku”.
Kisah dikutip dari buku Ahmad Zahrudin, S.Pd.I, berjudul “Merekalah Teladan Kita”
Leave a Reply