Manusia memiliki dua tempat di dalam pikirannya. Yang pertama adalah rumah, yang di mana terdapat orang-orang terkasih bernama keluarga. Berikutnya, kantor tempat mereka mencari nafkah, sebuah pusat di mana manusia mengejar karir dan status hidup.
Sejatinya, di sepanjang jarak menuju tempat bekerja terdapat begitu banyak pelajaran hidup untuk dipetik. Meski hanya sejarak Jatibening menuju Menteng, Jakarta, seorang Saifuddin Latief terus berusaha mencari makna hidup itu.
Saifuddin Latief kelahiran Kudus, Jawa Tengah, pada enam puluh satu tahun yang lalu. Anak kedua dari enam bersaudara itu dididik oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai pedagang.
Perjalanan karirnya di Jakarta bermula saat berpredikat sebagai sarjana dari Institut Pertanian Bogor. Ia kemudian bekerja di institusi pemerintahan, perusahaan BUMN dan perbankan. Saat ini, ia bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berkantor di Jln. Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
Pria yang rutin bayar zakat mal per tahun ini mengaku berkendara sendiri menuju kantor. Mandiri berkendara Bekasi – Jakarta dinikmatinya sebagai kompensasi atas nikmat hidup yang diberikan Allah SWT.
Dari sekian perjalanan hidupnya, terdapat satu ingatan ia hendak berbagi bersama Tim Iniziatif. Memori itu membekas hingga kini terkait pelajaran berbagi kepada sesama.
Ia namakan “Kambing Bergulir”. Aktivitas tersebut diinisiasi olehnya dan seorang teman yang berdomisili di Madiun, Jawa Timur.
Program pemberdayaan ekonomi rakyat ini ditargetkan kepada keluarga tidak mampu, khususnya anak-anak pelajar berstatus yatim/piatu yang tinggal di kampung sekitar hutan perum perhutani. Wilayahnya dipenuhi pohon-pohon Jati, namun masyarakatnya memiliki tingkat pendapatan rendah.
Dimulai dari 25 tahun silam, Saifuddin mempersiapkan bibit kambing. Dimulai dari jumlah 4 ekor (seekor pejantan, dan tiga betina), kambing-kambing itu pun dititip kepada 4 keluarga untuk dipelihara dengan baik, sehingga melahirkan bibit kambing yang baru. Jumlah induk kambing tersebut ia tambah sejalan dengan adanya kelonggaran rezeki.
Saat bibit kambing baru siap disapih, maka induk kambing sebelumnya digilir ke keluarga berikutnya, dengan tujuan yang sama. Begitu seterusnya hingga sebagian besar keluarga berpendapatan rendah menjadi peternak kambing aktif.
Program tersebut dianggap berhasil sesuai laporan yang diberikan teman Saifuddin selaku pengawas “Kambing Bergulir”. Menurutnya, program ini sederhana namun memiliki impact yang besar bagi kesejahteraan anak-anak yatim. Setidaknya, kambing tersebut dapat dijual untuk membiayai anak sekolah atau kebutuhan keluarga yang lain.
“Ringan dikerjakan tapi bisa dirasakan, meski harus agak bersabar dan telaten jika dikerjakan,” tuturnya.
Dari target pilihan mereka, dapat disimpulkan kalau Saifuddin bersama temannya hendak mengajarkan para pelajar menjadi pribadi mandiri kelak, sekaligus berdayaguna bagi sesama.
Kini, program “Kambing Bergulir” diurus oleh guru-guru Madrasah di sana. Kabar terakhir didapat bahwa kambing itu kini berkali-kali lipat jumlahnya.
Sebelum mengakhiri sesi wawancara, Saifuddin Latief berbagi pesan kepada sesama yang diberikan kelebihan rezeki untuk menyisihkan sebagian hartanya bagi saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
“Selagi masih ada umur, teruslah untuk berbagi kepada orang lain. Jadilah orang yang bermanfaat bagi sesama. Jangan ingat zakat manakala nyawa sudah sampai di kerongkongan. Bisa lewat lembaga amil zakat IZI yang sudah diakui. Atau, banyak lembaga lain. Yang penting bahwa bagaimana kita dapat mengasah empati kepada orang lain yang tidak beruntung,” tutupnya. (DH)
Leave a Reply