Sepuluh tahun menumpang di sebuah bangunan berdinding papan, beratap seng tua dan rusak, serta beralaskan sisa-sisa spanduk bekas. Begitulah yang dialami oleh keluarga Dg. Nile, warga Kota Makassar yang mengadu nasib di tanah Kaili.
Bangunan tersebut milik kenalannya yang menetap di luar daerah. Dikarenakan orangtuanya wafat, ia menitipkannya kepada Dg. Nile.
Lokasi bangunan yang ditinggali wanita tersebut dekat dengan kawasan yang diterjang bencana likuifaksi pada tahun 2018 lalu. Hanya beberapa meter ke belakang, bangunan papan tersebut bisa sewaktu-waktu dilahap tanah yang bergerak. Namun, Allah SWT menakdirkannya lain.
Dg. Nile tinggal di bangunan itu bersama sang suami, anak beserta kedua cucunya. Berbagai macam pekerjaan sudah dilakukan semenjak mulai tinggal di Kota Palu bersama sang suami dan beberapa anaknya.
”Semenjak datang ke sini kami mencoba mencari pekerjaan. Mulai dari jualan ikan keliling dengan berjalan kaki susuri rumah-rumah warga hingga jadi tukang kupas bawang. Tetapi sudah beberapa bulan terakhir ini kami tidak lagi lakukan,” ujar Dg. Nile.
Kini beliau beralih menjadi buruh cuci pakaian, walaupun tidak setiap harinya, “Kami ini kerja tidak menentu nak, hasil dari cuci pakaian orang di rumah-rumah biasanya dikasih Rp. 15.000, paling tinggi Rp. 20.000 setiap kali mencuci dan terkandung kemurahan hati mereka juga,” lanjutnya
Semenjak bencana likuifaksi September 2018 banyak pelanggan Dg. Nile yang menjadi korban. Rumah-rumah mereka sudah tidak ada lagi, sehingga ia sulit dapatkan pelanggan.
“Kita makan nak ini tidak menentu. Kadang kalau ada beras, walaupun hanya sedikit, itu sudah yang kami masak. Kalau tidak ada lauk, ya cukup dengan tambahan garam sudah cukup. Biasanya juga kalau tidak ada beras terpaksa kami harus ngutang dulu di kios-kios dari pada tidak makan sama sekali,” ujar beliau sedih.
Semenjak bencana gempa, tsunami dan likuifaksi melanda Sulawesi Tengah, kondisi perekonomian warga melesu. Ditambah lagi dengan kedatangan pandemi Covid-19 makin memperparah keadaan.
Hal ini berdampak langsung pada pekerjaan suami dan menantu Dg. Nile yang berprofesi sebagai penarik becak. Makin jarang lagi pengunjung yang menyewa layanan becak mereka.
Bertahun-tahun mereka tinggal di Kota Palu pun tidak pernah mendapatkan bantuan sama sekali, baik dari pemerintah maupun lembaga lainnya.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, hanya tetangga-tetangga sekitar rumah saja yang mendapatkan bantuan. Hal ini dikarenakan identitas pengenal maupun berkas lain milik Dg. Nile dan Keluarga masih berstatus di luar provinsi Sulawesi Tengah.
“Kita ini biasanya hanya bisa bersabar dengan kondisi yang ada. Tetangga-tetangga di sini semuanya dapat bantuan, hanya keluarga kami di sini yang tidak pernah dapat bantuan sama sekali. Untuk mengurus pindah KTP dan berkas-berkas lainnya kita cukup sulit nak. Karena harus kembali ke daerah sana lagi sedangkan kita tidak punya biaya dan waktu untuk kembali mengurusnya apalagi di tengah kondisi korona ini.” pungkasnya
Dan pada hari ini Senin (06/07/2020), Tim LAZNAS IZI Perwakilan Sulteng pun mendatangi kediaman mereka sambil memberikan bantuan tunai sesuai kebutuhan mereka.
Untuk membangkitkan ekonomi keluarga Ibu Dg. Nile, beliau memang berencana menjual ikan jikalau ada modal, “walau sedikit yang penting bisa menambah pendapatan. Dan modalnya bisa diputar kembali ketimbang menjadi seorang buruh cuci dengan penghasilan yang tidak menentu.” (Risman/IZI Sulteng)
Leave a Reply