Sunah qurban diperintahkan kepada muslim yang mampu. Allah SWT mensyariatkan ibadah qurban kepada kaum muslimin berdasarkan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah!” (QS Al-Kautsar: 1-2)
Imam Syafii, Imam Malik, dan Jumhur (Abu Malik Kamal, 2013: ii/369) berpendapat bahwa qurban hukumnya sunah muakadah, demikian pula dua sahabat Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Muhammad, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat hukumnya wajib bagi muslim yang mampu dan berstatus muqim, sehingga tidak wajib bagi yang sedang bepergian (safar). (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd, 2018, h.445)
Pada dasarnya, ibadah qurban disunahkan kepada setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat taklif secara umum, antara lain baligh, berakal, mampu (qudrah), kemauan sendiri (ikhtiyar), dan mengetahui apa yang dibebankan (al-ilmu bi at-taklif). (Lihat: Ushul Fiqh alladzi laa yasa’u Al-Faqih Jahlahu, ‘Iyadh As-Sulami, 2005, h.70-71)
Berkaitan dengan kemampuan seseorang, Rasulullah SAW mencela siapa saja yang enggan berqurban padahal ia mampu. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang mempunyai kelapangan tetapi belum (enggan) berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami!” (HR Ahmad 3123, Ahmad 8256, Hakim 7565, Baihaqi 6952, dan Daruquthni 4762)
Kriteria mampu berqurban, ulama berbeda pendapat mengenai batasan seseorang dianggap mampu untuk berqurban. Kalangan Hanafiyah mensyaratkan seseorang memiliki kelebihan harta seukuran nishab zakat (20 Dinar), Malikiah mengatakan 30 Dinar, sedangkan Syafiiyah tidak menatapkan pada nominal tertentu.
Bagi Syafiiyah, seseorang dinilai mampu berqurban apabila mempunyai kelebihan uang yang cukup untuk membeli qurban. Hal itu di luar kebutuhan nafkah untuk diri dan keluarganya.
Menurut Syaikh Abdullah Al-Fauzan dalam Minhatul Alam (1438H, 9/280), sekaligus pendapat Hanabilah, seseorang dikatakan tidak mampu berqurban jika ia tidak mempunyai apa-apa kecuali kebutuhan dirinya dan keluarganya. Terlebih ketika seseorang sedang terlilit hutang, maka ia wajib mendahulukan membayar hutangnya daripada berqurban.
Perbedaannya dengan Syafiiyah adalah ketika seseorang yang sebelumnya tidak memiliki hutang lalu sengaja berhutang khusus untuk berqurban, jika ia mempunyai kesanggupan untuk melunasinya dari pendapatan yang diperkirakan kuat akan datang maka ia boleh berhutang. Namun jika tidak ada kesanggupan seperti itu maka tidak diperbolehkan.
Sumber: Dewan Pengawas Syariah IZI (DPS IZI)
Baca artikel lainnya:
https://izi.or.id/abon-kita-qurban-izi-solusi-qurban-di-tengah-pandemi-chef-ragil-kualitas-daging-lebih-terjaga/
Leave a Reply