Dalam struktur rumah tangga, pria kerap disebut sebagai pemimpin. Namun, pemahaman ini sering kali dimaknai secara sempit: pria berkuasa, wanita mengikuti. Dari sinilah benih patriarki muncul—sebuah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas, hingga mendominasi dalam pengambilan keputusan dan peran sosial.
Patriarki yang sudah beracun atau toxic patriarchy memunculkan pola rumah tangga yang timpang. Suami merasa cukup hanya dengan bekerja dan memberi nafkah, lalu menarik diri dari pengasuhan anak maupun urusan rumah tangga. Akibatnya, beban emosional dan fisik istri bertumpuk, sementara suami hidup dalam ilusi “kepemimpinan”.
Psikolog keluarga, Dr. Susan Forward dalam bukunya Men Who Hate Women and the Women Who Love Them menyebut pria dengan pola patriarkis ekstrem cenderung sulit membentuk hubungan emosional yang sehat.
Psikolog Indonesia, Anna Surti Ariani, juga menyatakan bahwa anak laki-laki yang tumbuh tanpa pelibatan ayah dalam rumah cenderung meniru pola maskulinitas kaku. “Anak belajar dari contoh. Jika ayah tidak mengasuh, ia pun belajar bahwa itu bukan tugas laki-laki,” ujar Anna dalam sebuah seminar parenting tahun 2023.
Untuk mencegah anak laki-laki tumbuh menjadi pelaku patriarki yang toksik, orang tua bisa menerapkan beberapa pendekatan berikut:
- Libatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga
Ajarkan bahwa bersih-bersih, mencuci piring, atau memasak bukan tugas perempuan. Ini membentuk pemahaman bahwa kontribusi dalam rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. - Tunjukkan kehadiran emosional dari ayah
Biarkan anak melihat ayah memeluk, menangis, atau menunjukkan empati. Ini penting agar anak laki-laki tidak menganggap emosi sebagai kelemahan atau hal yang tidak “maskulin”. - Ajarkan bahwa memimpin berarti melayani, bukan memerintah
Tanamkan bahwa menjadi pemimpin bukan soal mengatur orang lain, tapi soal memberi contoh dan bertanggung jawab. Ini akan membentuk karakter pemimpin yang adil dan rendah hati. - Bangun komunikasi dua arah
Biasakan anak untuk bicara tentang perasaan dan pikiran mereka, serta dengarkan dengan serius. Ini membantu anak laki-laki tumbuh dengan kecerdasan emosional yang sehat. - Hindari pujian berlebihan pada maskulinitas tradisional
Kalimat seperti “anak laki-laki harus kuat” atau “jangan cengeng” sebaiknya dihindari. Gantilah dengan afirmasi seperti “tidak apa-apa merasa sedih” atau “kamu berani mengungkapkan perasaanmu”.
Menumbuhkan generasi pria yang sehat emosional adalah investasi jangka panjang. Ia tidak hanya membawa perubahan di rumah, tapi juga di masyarakat. Karena mendidik anak laki-laki hari ini, berarti merawat masa depan relasi yang lebih setara dan manusiawi.
Ayu L Mukhlis
Sumber : Kompas.com | Men Who Hate Women and the Women Who Love Them, Susan Forward
Leave a Reply