Dia hanyalah seorang pembantu rumah tangga, namun kekayaannya melebihi seseorang yang memiliki rumah di kawasan elite. Bagaimana bisa demikian?
Saya sering menemukan fakta ironi, seseorang yang tinggal di rumah gedong, memiliki beberapa kendaraan roda empat dan roda dua, namun ketika ada yang bertamu ke rumahnya… disuguhi minuman atau makanan pun tidak sama sekali. Harus meneguk ludah saking kehausan, dan menahan bunyi perut saking kelaparan. Mau mengingatkan tapi segan.
Sementara sosok wanita paruh baya ini, yang hanya seorang pembantu rumah tangga biasa, dengan rumah kontrakan alakadarnya, senantiasa menyuguhkan apapun yang ia punya saat siapa pun bertandang datang.
Segala rupa camilan sederhana, dari mulai kerupuk sampai gorengan, air putih dingin dan teh hangat, semua disediakannya untuk menjamu tamunya yang padahal hanya orang biasa pula, atau sekadar tetangga yang iseng main.
Lihatlah betapa ia menjalankan apa yang Rasulullah sabdakan, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Tidak hanya itu, tetangganya yang padahal lebih mapan darinya… memiliki rumah bagus, kendaraan roda empat, TV layar datar puluhan Inci, ketika datang meminta makanan pun, akan diberikannya tanpa meminta imbalan.
Memang mengherankan, banyak orang yang pelit untuk memberi makan dirinya dan keluarga sendiri, namun menumpuk harta dalam bentuk kemewahan. Tidak malu meminta makan harian pada tetangga yang secara kondisi sebenarnya lebih tidak mampu.
Akan tetapi sosok wanita ini tak pernah mempermasalahkannya, dengan senang hati ia akan memberi tetangganya itu makanan yang dimasaknya sejak pagi untuk keluarganya. Tak masalah tetangganya itu secara zahir lebih kaya daripada dirinya.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata : Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku. “Kalau kamu memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian lihatlah keluarga dari tetanggamu. Dan berilah mereka daripadanya dengan baik” (HR. Muslim no.2625)
Aaah… benarlah yang disabdakan Rasulullah mengenai kekayaan, bahwa kaya itu bukanlah perbendaharaan uang dan kemewahan, melainkan perasaan cukup dengan apa yang dimiliki.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar.
Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?”
“Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa.
Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Subhanallah, dari seorang wanita yang tidak punya banyak harta benda namun selalu bersedia memberi inilah saya melihat kekayaan sejati. Tak perlu saya sebutkan namanya, cukuplah kisah nyata ini memberi gambaran apa yang dilakukannya.
Kaya itu berasal dari hati yang senantiasa merasa cukup atas pemberian Allah. Tak peduli kondisi kita miskin harta benda, ketika kita mampu merasa berkecukupan… sejatinya kita telah menjadi seorang yang kaya. Tidak takut berbagi.
Sebaliknya, sebanyak apapun kendaraanmu, sebesar apapun rumahmu, sebagus apapun pakaianmu, jika tidak pernah merasa puas dan cukup… maka hakikatnya kamulah seorang yang fakir miskin dan perlu dikasihani. Wallaahualam. (SH)
Leave a Reply