Kebanyakan kita mungkin membeli sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau sekadar melampiaskan syahwat belanja, bahkan kalau diperbolehkan menawar, ada sebagian orang yang tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan melakukan penawaran sadis hingga setengah harga awal. Lucunya, orang-orang hanya melakukan tawar-menawar pada pedagang kecil yang lemah. Kalau di mall, harga berapapun tidak masalah… gengsi kalau harus menawar.
Akan tetapi berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Abu Hanifah dalam kisah berikut ini, tertuang dalam kitab Mausu’atul Akhlaq waz Zuhdi war Raqaiq (Juz I) karya Yasir ‘Abdur Rahman dalam sub-bab ar-Rahmah bil Muhtajin (berkasih sayang kepada orang-orang yang membutuhkan). Yuk simak bersama…
Abu Hanifah memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Suatu hari seorang perempuan datang kepada Abu Hanifah sambil membawa kain sutra di tangannya. Perempuan tersebut bermaksud untuk menjual kain mewah yang dibawanya itu kepada Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah bertanya, “Berapa harga kain ini?
Perempuan penjual kain menjawab “Harganya seratus dirham.”
Mendengar jawaban dari perempuan penjual kain tersebut Imam Abu Hanifah lantas menyangkalnya, “Tidak. Nilai kain sutra ini pasti lebih dari seratus dirham.”
Tentu saja perempuan tersebut dibuat terheran-heran atas apa yang telah diucapkan oleh Imam Abu Hanifah. Padahal biasanya pembeli akan menawar barang dagangan dengan harga yang lebih murah, bukan menyangkalnya dan dengan jujur menyatakan bahwa barang tersebut memiliki harga yang lebih tinggi.
Karena jawaban Imam Abu Hanifah tadi, perempuan pedagang kain tersebut lantas melipatgandakan harga kain menjadi empat ratus dirham. Itupun ia sudah takut-takut kalau harga yang ditawarkannya terlalu tinggi.
“Bagaimana jika ternyata kain sutramu ini harganya lebih tinggi dari itu?”
“Wahai Imam, apakah Anda bercanda?” Perempuan tersebut semakin tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Kalau begitu, datangkanlah seorang yang memahami kain untuk menakar harga kain ini yang sebenarnya!” Perintahnya.
Mengikuti perintah sang Imam, perempuan tersebut pun mendatangkan seorang laki-laki untuk menaksir harga kain tadi.
“Kain sutra ini harganya lima ratus dirham.” Ucap si lelaki.
Imam Abu Hanifah pun langsung membayarnya secara tunai saat itu juga, sehingga perempuan pedagang kain itu merasa bersyukur atas bantuan dan kejujuran sang Imam dalam menghargai kain yang dijualnya.
Sebenarnya Abu Hanifah sudah tahu mengapa perempuan tadi menjual kainnya, karena dia sedang membutuhkan uang. Itulah sebabnya ia membantunya, bukan karena ia memerlukan kain mewah tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah tentunya dapat dijadikan sebagai contoh bagi kita. Ketika ada orang yang membutuhkan pertolongan dan kita memang mampu untuk membantunya, maka lakukanlah jangan tanggung-tanggung, tak perlu pula membantu seseorang dengan mengharapkan dapat keuntungan duniawi, “Lumayan kalau dia jual seratus dirham, saya bisa dapat untung berkali lipat dengan menjualnya pada orang lain.”
Sungguh, bayaran Allah akan lebih besar dari apapun keuntungan duniawi yang bisa kita peroleh dari membantu orang lain. (SH/RI)
Leave a Reply