Amil zakat adalah pekerjaan yang mulia. Ditangan-nya ada dua perkara baik yang menjadi tanggungjawabnya, yakni menunaikan kepercayaan muzaki dalam kerangka membersihkan harta-nya dan membantu mustahik bisa hidup lebih baik.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”
(QS. Fusshilat : 33)
Para amil juga memiliki tugas dakwah. Tugas yang sama dengan para da’i namun nuansa-nya agak berbeda. Para amil dakwahnya dengan mengajak muzaki agar ingat Allah dengan mensucikan hartanya, serta mendampingi mustahik agar punya kemampuan kemandirian serta keleluasaan hidup sehingga lebih punya kesempatan beribadah dan menjadi hamba Allah yang baik.
Dengan tugas yang banyak namun SDM amil terbatas, para amil kadang tak punya kesempatan leluasa untuk beribadah. Walau hal ini bukan alasan, faktanya memang para amil seringkali merasa belum optimal ibadahnya. Ini memang tantangan, bagaimanapun kesibukan seorang amil, ia harus berusaha maksimal menjaga ibadah-ibadah hariannya dengan baik.
Tulisan yang singkat ini berkehendak memotret soal deviasi ibadah para amil dan juga menemukan gambaran bagaimana usaha keras para amil untuk menjaga keseimbangan diri antara berjuang menjadi amil yang baik dan berdedikasi tinggi sekaligus menjadi Seorang Muslim yang paripurna dalam beribadah menyembah Allah SWT.
Amil Zakat dan Harmoni Amal
Dengan pekerjaan yang semakin tak mudah, amil dianggap memiliki DNA pejuang. Pejuang yang bersungguh-sungguh mengabdikan diri di jalan kebaikan dan kemuliaan. Para amil, pada faktanya terbiasa mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya untuk kebaikan umat dan bangsa.
Mereka biasa bergotong royong membantu solusi atas problema umat yang terjadi di negeri ini tanpa pamrih. Dengan segala keterbatasan yang ada, para amil terus bekerja siang malam menjaga amanah dan kepercayaan umat. Juga memastikan harta dan kepercayaan umat tetap terjaga dan disampaikan pada pihak-pihak yang ada sesuai ketentuan.
Jalan kemuliaan dalam menjaga setiap rupiah amanah umat inilah salah satu alasan yang menjadikan pekerjaan amil zakat adalah pekerjaan yang cukup mulia. Amat wajar apabila pahala seorang amil dalam menunaikan tugasnya ada yang menyamakan dengan pahala orang-orang yang berperang di jalan Allah.
Rasulullah SAW bersabda : “Seorang amil zakat yang benar, maka ia seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali pulang ke rumahnya” (HR. at-Tirmidzy, Abu Daud, Ibu Majah dan Ahmad).
Amil dan Tujuan Hidup
Amil adalah juga hamba Allah SWT. Pastilah bila ia paham, tujuan hidupnya juga tak beda dengan muslim lainnya, yakni menjadikan Allah SWT sebagai tujuan hidupnya. Sebagai muslim yang baik, setiap amil ingin setiap aktivitasnya juga menjadi bagian langsung dari ibadah-nya sebagai seorang hamba Allah.
Amil adalah amanah. Dengan menunaikan amanah yang baik, semoga akan mengantarkan para amil menjadi bagian solusi atas masalah umat yang terjadi. Setiap aktivitas dan perkerjaan yang dilakukan seorang amil dengan niat yang ikhlas dan penuh kesungguhan semoga juga sekaligus menjadi pahala kebaikan.
Dalam fokus para amil, sejatinya jabatan bukanlah hal utama. Hal ini tiada lain karena para amil terbiasa dididik untuk jadi aktivis dan tak jarang dalam kehidupannya terbiasa pula berkorban untuk orang lain. Mereka juga, para amil disiapkan untuk bukan hanya menjadi dirinya sendiri, namun juga jadi teladan orang lain.
Para amil terkondisikan tanpa sengaja mewarisi jiwa kepemimpinan. Jiwa ini sendiri terus tumbuh dan menjadi spirit dinamika kehidupan seorang amil. Dan tentu saja spirit kepemimpinan ini sangat baik bagi para amil. Hal ini tak lain karena kepemimpinan itu sarana pengabdian kepada Allah SWT. Sarana ini sendiri, sebagaimana sarana-sarana lainnya lagi-lagi tergantung niat dan keikhlasan masing-masing.
Amil dan kepemimpinan memang tak bisa dipisahkan. Para amil dengan demikian harus menempa diri secara terus menerus untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun saat yang sama, ia juga tak boleh malah terjebak menjadikannya sebagai hamba kepemimpinan. Bila ini yang terjadi, maka seorang amil akan kehilangan ruh-nya bahkan tak akan ada bedanya dengan hamba dinar, hamba dirham, dan hamba dunia lainnya.
Ciri hamba kepemimpinan sendiri diantaranya adalah kalau diberi jabatan merasa puas, sedangkan kalau tidak diberi jabatan ia akan menjadi marah. Bila para amil kemudian menganggap jabatan sebagai sarana penghambaan kepada Allah, maka ia akan mengoptimalkan kepemimpinan untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
Dengan implentasi kepemimpinan yang baik, para amil berharap akan mampu mengumpulkan bekal untuk kebahagiaan di akhirat. Dengan situasi ini, para amil menjadikan dirinya tidak ambisius dan merasa mulia dengan kepemimpinan, sebab ia sadar bahwa ada pertanggung jawaban dalam setiap kepemimpinan. Namun bila ia mendapat amanah menduduki posisi tertentu, ia akan sungguh-Sungguh menjalankan amanah tadi.
Dan namanya amanah, laksana tukang parkir yang diminta menjaga kendaraan yang ada. Tak bangga ketika kendaraan-nya bagus-bagus semua, pun tak bersedih bila hanya satu atau dua kendaraan yang ada dan tak bagus pula kondisinya. Demikian pula seorang amil, idealnya ketika amanah kepemimpinan yang ada pada dirinya diambil atau dicabut, ia tak mati langkah dan tak pula kehilangan spirit untuk terus berjuang bagi kebaikan sesama.
Dalam diri seorang amil yang berkurang amanah kepemimpinan-nya, ia tetap tegar dan terus bergerak untuk tetap mengumpulkan bekal bagi kehidupan-nya yang abadi di negeri akhirat. Sebab kepemimpinan bukan satu satunya sarana untuk mendekatkan diri kepadaNya. Allah berfirman :
“Katakanlah, “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan” (QS. Ali Imran : 26-27)
Memurnikan Tujuan Hidup
Amil yang baik adalah amil yang sadar betul tujuan hidupnya mau kemana. Ia juga senantiasa menyandarkan hidupnya pada Allah semata. Ia pun menyadari bahwa hidup, matinya serta soal pembagian rizki telah digariskan Allah SWT. Seorang amil tak risau juga dengan urusan finansial-nya, sebab rizki itu pasti telah diatur oleh Allah SWT.
Dalam keseluruhan kehidupannya, seorang amil yang baik memahami dengan benar bahwa kekuasaan dan rizki itu milik Allah. Kekuasaan diberikan kepada siapa yg dikehendakiNya dan dicabut dari siapa yg dikehendakiNya. Pergiliran kekuasaan itu ibarat pergiliran malam dan siang. Begitupun soal rizki dan jabatan. Semua akan selesai pada akhirnya.
Hidup seorang amil pada dasarnya bukan untuk mengejar jabatan, bukan pula untuk mengumpulkan kekayaan. Hidup mereka juga bukan untuk kepentingan dunia sesaat. Para amil ketika berhimpun dan berkumpul-pun lebih banyak membicarakan dan bekerja untuk kemaslahan umat dan bangsa.
Karena tujuan hidup para amil selalu dijaga satu sama lainnya. Maka ikatan hati diantara mereka cukup kuat. Para amil juga sadar betul, bahwa ketika aktivitas keamilannya ia jadikan sebagai sarana ibadah, maka saling mengingatkan diantara mereka juga itu bagian penting dari harapan mereka untuk terus baik dan terjaga.
Kesadaran bahwa pada dasarnya aktivitas amil ini juga ibadah, membuat para amil tak punya pilihan lain kecuali untuk memiliki dedikasi yang tinggi atas seluruh pekerjaan yang ia lakukan. Tak heran kesadaran ini akhirnya mendorong para amil harus mencurahkan segenap tenaga, waktu dan pemikirannya untuk mengelola dana zakat dan memiliki semangat berkorban atau at-tadhiyyah.
Bagi seorang amil yang pemahaman-nya sudah cukup baik, aktivitas bekerjanya tak sekedar mengikuti jam kerja kantor sebagaimana umumnya. Namun ia bisa saja bekerja hingga 24 jam. Bagi mereka, selalu ada waktu untuk membantu dan melayani umat.
Kecintaan mereka pada pekerjaan tak diragukan lagi. Ini semua berasal dari keyakinan bahwa karena seluruh pekerjaan yang ia lakukan sebagai amil ia nisbatkan sebagai ibadah, maka seluruh ucapan, perbuatan dan segala perhatian dan dedikasinya ia maksimalkan. Amil yang telah utuh kesadaran-nya, seluruh aktivitasnya ia niatkan sebagai ibadah, baik yang disampaikan lisan, didzikirkan hati dan dilakukan perbuatan tangan dan kaki serta anggota tubuh lainnya.
Amil yang telah semakin mampu memaknai kehidupan dirinya sebagai amil sejati, ia akan menjadikan seluruh aktivitasnya adalah ibadah. Hati dan lisannya senantiasa ber-dzikir menyebut asma-Nya, sedang tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya menjadikan semua geraknya adalah bagian dari ibadah. Tak ada lagi pemisah, apakah ia di masjid atau di luar masjid. Tak beda lagi ketika ia bekerja atau melayani sesama yang membutuhkan.
Amil seperti ini juga amat kuat rasa cintanya pada sesama dan juga pada rekan-rekan amilnya. Do’anya tak hanya untuk diri dan keluarganya, namun juga untuk umat dan bangsanya. Munajatnya selalu diulang :
“Robbi, mohon terus bimbing kami ke jalan yang suci, jalan yang Engkau ridloi. Jadikan hati kami semua selalu dipenuhi cahaya-Mu yang tidak pernah padam. Lapangkan dada kami dan berilah curahan iman dan rasa indah akan tawakal pada-Mu. Bimbinglah hidup kami agar selalu mengenal-Mu. Arahkan jalan kami agar terang dan jelas sehingga menuju jalan-Mu. Wafatkan kami dalam kesyahidan membela agama-Mu”. (Nana Sudiana, Direktur Pendayagunaan IZI)
Leave a Reply