“Air mata penyesalan dari seorang pendosa itu lebih dicintai Allah daripada kesombongan dari seorang yang shalih” – Ibnu Athailah
Amil adalah pemegang amanah. Lewat tangan-nya, ada tanggungjawab untuk memilih siapa yang paling prioritas untuk dibantu dan dientaskan masalahnya. Apapun yang diberikan pada mustahik, sejatinya hanyalah “numpang lewat” dan bukan milik pribadi maupun lembaganya.
Namun sayangnya, karena besarnya kepercayaan yang diperolehnya, seorang amil kadang lupa diri. Penghimpunan yang lembaganya kelola, seakan buah dari keberhasilan dan bagusnya tata kelola atau kehebatan strategi yang dijalankan. Belum lagi penghargaan, pujian serta publikasi media yang terus diterimanya menyilaukan dirinya dan organisasi yang ia kelola.
Kesadaran bahwa semua ini hakikatnya amanah harus dipupuk dan dikuatkan. Agar jiwa seorang amil senantiasa bersih dari waktu ke waktu. Ibarat spon, amil punya tugas membersihkan harta muzaki, namun tak lantas justru kotoran dan kerak yang ada malah menumpuk dan menjadi jelaga di amil dan lembaganya sendiri. Seorang amil secara personal dan lembaga harus mampu mengurainya hingga bersih kembali. Mengembalikan segala noda dan menumbuhkan sikap rendah hati. Bila itu semua tak terjadi, maka bisa saja kesombongan yang akan mewarnai wajah seorang amil dan lembaganya.
Tulisan singkat ini, berkehendak mengingatkan kita semua para amil agar kembali memiliki niat yang kuat dalam menjalani kehidupan sebagai seorang amil. Tulisan ini juga, berharap menjadi refleksi kita semua, bahwa tak sepantasnya ada lintasan kesombongan di wajah dan perilaku lembaga pengelola zakat walau hanya segores kecil dan samar bentuknya. Intinya amil tak boleh sombong, bila ingin sombong. Berhentilah jadi amil, juga jadi manusia.
Pujian yang Melenakan
Pada awalnya, karena ada beragam penghargaan, juga kemenangan atas kompetisi-kompetisi yang ada. Juga penilaian-penilaian yang berhasil membuahkan keunggulan, sebuah lembaga pengelola zakat lantas tergoda untuk merasa hebat dan lebih dari yang lain. Apalagi hal ini didukung terus menerus oleh besarnya penghimpunan yang diperoleh dan mengalirnya dukungan yang luas dari masyarakat.
Keberhasilan tentu sepatutnya disyukuri. Dijadikan evaluasi atas proses yang dilakukan selama periode tertentu yang dijalani. Tak ada yang salah. Apalagi melanggar regulasi dan syariah. Hal ini lain situasinya bila lembaga mulai tergoda untuk justru “memproklamirkan” kehebatan dalam takaran yang berlebihan. Menunjukan keunggulan secara demonstratif bahkan dipublikasikan secara besar-besaran.
Ingat, sesuatu yang berlebihan, tentu berisiko menjadi mubazir, atau malah hadirnya penyakit. Dan daya dorong keberhasilan yang dipamerkan, akan berbahaya mengantarkan lembaga dan para amil pada hadirnya penyakit hati yang bernama kesombongan.
Sombong sendiri bisa luas maknanya. Salah satu bagian dari sikap ini adalah merasa diri (dan lembaganya) berada lebih di atas orang lain. Merasa diri dan lembaganya sempurna bila disandingkan dengan yang lain. Bahaya penyakit ini bisa sampai meremehkan manusia dan merendahkan orang lain. Ia juga bisa menghadirkan rusaknya hati berupa memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain.
Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT telah berfirman, “Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Karena itu, siapa saja yang merampas salah satunya dari-Ku, pasti Aku akan melemparkannya ke dalam api neraka” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Dalam hadis tadi, jelas Allah SWT telah mengaitkan ancaman api neraka, sebagai qarînah, dengn sifat sombong dan takabur, yakni bahwa siapa saja yang memiliki kesombongan dan ketakaburan, niscaya Dia akan melemparkan dirinya ke dalam api neraka. Karena itu, berdasarkan hadis ini, seorang Muslim diharamkan untuk memiliki sifat sombong dan takabur. Apalagi seorang amil yang ditangannya ada amanah besar untuk membantu sesama dan mendorong kebaikan-kebaikan baru bagi msyarakat miskin dan dhuafa.
Di gerakan zakat, tak ada ruang yang memadai bagi amil yang sombong. Baik personal amilnya maupun lembaganya. Tak boleh ada toleransi bagi spirit amil yang ingin maju bersama untuk kebaikan negeri dan umat. Tugas ini melekat pada seluruh amil, agar tak ada rasa jumawa dan merasa hebat sendiri. Apalagi dalam bingkai kolaborasi, sifat sombong ini bisa merusak kebersamaan yang sedang dibangun demi kesejahteraan dan perbaikan hidup para dhuafa yang jadi tugas amil.
Dalam ekosistem zakat, spirit egoisme yang berlebihan hanya akan merusak sistem dan mengusik rasa ukhuwah. Sebagai komunitas besar dengan ribuan orang yang terlibat, gerakan zakat faktanya tidak bisa mengjapus semua masalah. Namun bila spirit saling menguatkan ini tumbuh baik, Insyaallah setiap masalah yang ada coba diurai bersama dan diselesaikan.
Gerakan zakat bukan tak steril dari masalah. Ia juga bukan di isi para malaikat yang pasti selalu benar dan penuh ketaatan. Kadang, ada friksi, perbedaan dan sejumlah gesekan, namun bila keinginan saling menghargai lebih kuat dari egoisme lembaga masing-masing, Insyaallah masalah-masalah yang ada akan berkurang secara signifikan. Asal juga tak ada kesombongan, egoisme atau malah keinginan untuk merasa hebat dan menjadi yang terbaik dari yang paling baik.
Kesombongan di dunia zakat bisa sangat merusak. Pengaruh negatifnya akan sampai pada muzaki juga mustahik. Tak sebatas itu, hal ini juga pada akhirnya akan berimplikasi pada relasi yang terbangun secara hotisontal maupun vertikal lembaga di luar urusan muzaki dan mustahik. Relasi ini akan sampai pada regulator, sesama lembaga pengelola zakat atau mitra-mitra dan jejaring lain yang terkoneksi secara langsung maupun tidak labgsung.
Mengenali Ciri-Ciri Tumbuhnya Kesombongan
Amil tak boleh mengijinkan hatinya ditumbuhi kesombongan. Maka mengenali ciri – Ciri adanya rasa sombong yang ada dalam diri jelas akan sangat membantu memberikan deteksi dini atas sifat ini. Setidaknya, ada 3 ciri yang terefleksi dalam sikap dan perbuatan yang bisa mengarah pada kemunculan sikap sombong seorang amil. Ketiganya secara singkat sebagai berikut :
Pertama, menyukai pujian dan menghargai dirinya sendiri secara berlebihan
Amil yang yang sombong selalu menghargai dirinya secara berlebihan. Ia juga mencari-cari cara dan melakukan banyak hal agar memperoleh pujian dan penghargaan dari pihak lain. Mereka ini selalu melebih-lebihkan apa yang dimilikinya lembaga maupun dirinya. Bisa jadi praktiknya, seorang amil yang memiliki penghimpunan zakat yang paling besar, memiliki sdm yang banyak, memiliki gedung yang megah dan luas, serta memiliki penghargaam-penghargaan atas berbagai prestasi dan kompetisi yang ada.
Kedua, tidak bersedia menanggapi saran dan nasehat pihak lain
Amil yang sombong biasanya mudah emosi. Mereka juga susah untuk menerima pendapat dan nasehat yang baik dari pihak lain. Ketika di ekosistem zakat ada forum atau musyawarah yang sedang berlangsung, maka amil yang sombong ini kadang berpendapat sendiri dan malah memksakan orang lain mengikuti pemikiran-nya. Bila tak direspon dengan baik atau kurang tepat, maka amil sombong tadi akan marah dan merasa harga dirinya di injak-injak oleh pihak lain. Bila pun ada masukan atau nasihat pada amil yang sombong ini, kadang ia menganggapnya sebagai sesuatu yang merendahkan harga dirinya dan secara terbuka biasanya ia akan langsung menolak nasihat dari orang tersebut.
Ketiga, Mengabaikan fakta dan menolak kebenaran
Seorang amil yang sombong bisa menjauhkan rasionalitas dirinya. Sombong selain sebagai sifat yang tidak boleh ada dalam diri seorang amil, ia juga sesungguhnya mampu menjauhkan seorang amil dari sifat obyektif dan logis. Seseorang atau suatu pihak yang sombong juga sebenarnya sedang melakukan penipuan terhadap Allah dan dirinya sendiri. Seorang amil yang sombong bisa keterusan akhirnya, dan malah bisa saja ia akan menolak sebuah kebenaran. Hal ini karena orang sombong tidak akan pernah mampu mendengarkan pendapat orang atau pihak lain. Dengan segala kemampuan dan apa yang dimilikinya amil dan lembaga pengelola zakat yang sombong selalu merasakan bahwa dirinya lah yang paling benar dan hebat dibandingkan dengan yang lainnya.
Dengan mengenal dan memahami ciri kesombongan pada diri dan lembaga kita. Semoga kita dijauhkan oleh Allah SWT dari sifat-sifat seperti itu. Dengan lenyapnya kesombongan dari hati kita. Semoga pula hadir suasana batin kita yang tenang dan penuh kebaikan. Hal ini karena sejatinya, kesombongan bisa menghadirkan kesusahan yang tiada akhir.
Dengan adanya kesombongan dalam diri kita, bisa jadi Allah SWT akan menjadikan suasana hati yang gundah gulana, gelisah dan terus merepotkan diri kita dalam hal apa saja. Tak ada ketenangan, juga keasyikan kala berbuat baik dan amal soleh lainnya dalam keseharian. Ada ketidakbahagiaan, juga cengkeraman rasa was-was dan khawatir terhadap apa saja, termasuk ketika memandang masa depan yang akan dijalani.
Sekali lagi, mari kita sekuat tenaga menghilangkan sifat dan perilaku kesombongan dalam diri kita, karena hal ini juga sangat dibenci oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran ; “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Lukman : 18).
Semoga para amil Allah jauhkan dari sifat sombong ini dan dianugerahkan kebaikan serta kekuatan untuk terus istiqomah membantu sesama tanpa pamrih. Amil adalah instrumen strategis umat dalam membawa umat keluar dari genangan masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan tugas mulia ini, tentu amil senantiasa harus sekuat tenaga membersihkan diri dari hembusan, bahkan lintasan kesombongan di mulai dari kedalaman hatinya.
Amil yang baik dan penuh kerendahan hati, sesungguhnya mutiara umat yang bukan hanya akan membanggakan dihadapan manusia lainnya, namun juga mengantarkan muzaki, mustahik dan amil-amil lainnya mendekati surga-Nya yang tak terbatas kenikmatan dan luasnya. Surga yang agung, yang kita semua rindukan di sepanjang desah nafas dan langkah kaki yang diayunkan.
“Tidak seorangpun yang memiliki bobot benih kesombongan dalam hatinya akan masuk surga” (Shahih Muslim)
@Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)
Leave a Reply