“Fisik ayah memang ada di dekat anak. Akan tetapi jiwa anak hampa dari kedekatan spiritual dan kedekatan emosial sang ayah,” kata Ir. Misbahul Huda, M.BA.
Melalui pengalamannya sendiri, ayah dari enam anak tersebut memaparkan bagaimana pentingnya seorang ayah dalam membangun kedekatan spiritual dan emosional anak. Ia memulai kisahnya dari salah satu anak lelakinya yang kedapatan pernah membantah kepadanya dan juga bundanya.
Istri Misbah mengaku tidak sanggup mengatasi anak lelakinya itu. Misbah tidak menyangka bahwa sang anak lelaki tersebut bermain bola di dalam rumah, dan salah satu puncak pemberontakan si anak adalah membawa motor milik bundanya lalu dimodifikasi sesuai dengan minat anak lelaki SMP tersebut.
Ayah, Orang Pertama Pelerai Masalah Anak
“Jadi yang pertama kali saya amati adalah apa yang dia (anak lelakinya) senangi. Saya menghampirinya. Saya mengajaknya bicara terkait hobi rakit motor itu,” ungkapnya.
Diakui penulis buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” bahwa hanya butuh 3-4 bulan untuk mengubah sang anak menjadi sosok penurut kembali. Ayahlah yang harus turun pertama kali dalam mengubah perilaku anak yang mulai tidak sesuai koridor. Lantas, bagaimana cara Misbah mengubah sikap anaknya tersebut?
Suatu ketika, ada pameran otomotif, maka diajaklah anak lelakinya. Masuk ruang pameran, mata si anak berbinar-binar seolah menjelaskan bahwa momen seperti itulah yang anak lanang tersebut inginkan. Di dalam pameran, keduanya banyak mengobrol apapun yang berkaitan dengan dunia otomotif. Dari situ, Misbah bisa mengambil hati sang anak.
Kegiatan mengajak anak mengobrol baik saat mengunjungi pameran, saat di dalam mobil adalah momentum untuk mengenal anak lebih dalam. Hingga pada suatu waktu, saat weekend, si anak yang biasanya keluyuran bermain dengan sejawatnya, di hari itu ia memilih berdiam diri di rumah. Seharian ia gunakan untuk membaca dan hal positif lainnya.
“Kok tumben kamu tidak keluar seperti hari libur biasanya?” tanya Misbah kepada anak lelakinya itu.
“Karena Abah (panggilan Misbah), sudah menemani saya, sudah ada untuk saya,” jawab si anak.
Mendengar jawaban itu, membuat Misbah terharu dan memang benar, solusi dari kenakalan anak adalah dengan menghadirkan sosok ayah di kehidupan mereka. Bukan sekedar hadir jasat, akan tetapi emosial dan spiritual.
Peran Spesial Ayah
Dalam sebuah pernikahan, tentu ada visi dan misi yang hendak dicapai dalam sebuah keluarga tersebut. Ayah adalah kepala sekolah yang memastikan seluruh penghuni sekolah dalam koridor yang telah disepakati bersama. Dan ibu bertugas untuk menjalankan pendidikan, sebab ibu adalah madrasatul ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
“Jadi, tugas Ayah jelas yakni sebagai kepala sekolah. Nah, kalau ada anak nakal lalu dipukul, dimarahi, maka itu bukan kepala sekolah, tetapi penjaga sekolah,” ujar alumni Teknik Elektro Universitas Gajah Mada tersebut.
Dalam Al-Qur’an, Allah sangat jelas memberikan contoh pengasuhan spesial seorang ayah kepada anaknya. Dari 17 percakapan, 14 di antaranya adalah percakapan dengan ayah, 2 dengan ibu, dan sisanya tidak jelas dengan siapa. Maka, betapa besar pengaruh terhadap anak-anaknya.
Setiap kali anak-anak bertengkar, maka ayahlah yang melerainya. Setiap anak dikucilkan dari sesama saudaranya (kisah Yusuf), maka ayahlah yang hadir memberikan kebijakan, motivasi dan juga perlindungan. Dan ketika ayah meninggal semenjak anak masih di rahim ibu, tetap saja peran ayah digantikan oleh paman, atau kakek seperti kisah Maryam.
Rasulullah sendiri pun adalah anak yatim sejak dalam kandungan. Maka tangguhan peran ayah berganti kepada kakeknya. Kakeknya meninggal, adalah Abi Thalib (pamannya) yang memerankan ayah.
Di tangan sang paman, Rasulullah diajarkan mandiri dengan menjadi pengembala. Kemudian diikutkan berdagang, lalu dipercayai untuk memegang dagangan orang lain, hingga akhirnya sukses meminang Khadijah dengan mahar 100 unta merah.
“Saya tidak tahu sejak kapan peran ayah di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan juga di dunia bahwa tugas ayah sekedar mencari nafkah dan melimpahkan tanggung jawab pengasuhan kepada istri, pembantu atau yang lain,” kritik Misbah tentang hilangnya peran.
Dimana, ayah masa kini hanya meluangkan 19 menit waktunya dalam sehari untuk sekedar ‘say hello’ kepada anak-anaknya. Fenomena tersebut pernah diteliti, dan menghasilkan kesimpulan, “Indonesia the father less country.”
Kesimpulan tersebut diambil dari berbagai permasalahan anak. Dari kenakalan hingga pada tingkat kejahatan. Dari kejahatan seksual hingga munculnya kasus pedofilia, pun LGBT juga termasuk di dalamnya. Semuanya mempertanyakan keberadaan ayah yang sangat jarang bercengkrama dengan anak-anak mereka.
Sejatinya, anak nakal karena ayah menolak ‘caper’nya si anak. Ayah berbuat arogan dengan memukul, bukan mengajaknya berpikir dan berdiskusi. Sehingga sisi sentuhan emosional dan spiritual tidak tertanam di jiwa anak.
“Sebab fungsi ayah memang menguatkan karakter anak. Menguatkan dalam hal keimanan pun dalam menghadapi beragam cobaan hidup,” tutupnya. (susi/wawancara tokoh)
Leave a Reply