Adinda kehilangan figur pria panutan dalam hidupnya dalam usia remaja. Ketika memasuki bangku sekolah kelas 9 (3 SMP), sang ayah meninggalkan Adinda yang tengah mengalami batu ginjal dari dunia ini.
Tahun 2017 adalah tahun di mana Adinda musti melewati Ujian Akhir Sekolah menuju jenjang berikutnya. Di tengah rasa sedih yang menderanya, Adinda dipaksa memilih antara melanjutkan terapi pengobatan atau ikut ujian akhir.
Tak disangka Adinda bahwa keputusannya vakum berobat dan fokus kepada ujian sekolah berdampak besar pada kesehatan dirinya. Selesai melakukan terapi laser, Adinda memang sudah bersih dari batu ginjal dan mengabaikan saran dokter untuk melakukan operasi. Namun satu tahun berikutnya, kesehatan Adinda merosot drastis.
Diakui ibunya, fisik Adinda melemah. Ia mual-mual dengan kadar Hemoglobin rendah. Seandainya saja dapat digambarkan kondisinya, tentu orangtua lainnya akan mengerti betapa khawatirnya Ibu dari Adinda kala itu.
Gadis itu pun langsung diantar ke ruang IGD rumah sakit umum daerah setempat.
Dokter yang memeriksa Adinda memvonis gadis itu mengalami pembengkakan di kedua ginjalnya. Adinda terancam gagal ginjal stadium akhir. Ia harus menjalani proses cuci darah secepatnya.
Tiada sesiapa yang bisa dimintai saran. Adinda pasrah atas keputusan ibunya saat itu yang kebingungan. Dihubungilah sanak keluarga mencari solusi terbaik. Namun pihak keluarga menyerahkan seluruh keputusan kepada sang ibu.
“Tidak ada pilihan bagi Adinda dan keluarga selain mengikuti saran dari dokter,” tutur sang ibu.
Proses cuci darah adalah proses yang sangat melelahkan dan membosankan. Hal ini diakui Adinda karena ia harus kontrol kesehatan 4 kali dalam seminggu.
Sebelum menjalani proses cuci darah, siswi jurusan perhotelan itu harus cek kesehatan ke poli khusus penyakit dalam. Terkadang dokter yang memeriksa datang terlambat, yang artinya ia bersama sang ibu harus menunggu hingga sore hari.
Waktu yang tersisa membuat ibunya tak lagi mampu berjualan sarapan pagi di pinggir jalan. Padahal, untuk kebutuhan sehari-hari saja memerlukan biaya lima puluh ribu rupiah per hari. Jika jualan laku, keuntungan bisa didapat hingga Rp 60.000,- per hari. Namun dengan kondisi seperti ini, ibunya pun meninggalkan jualannya dan menggantungkan hidupnya kepada sanak keluarga.
Adinda aslinya berkepribadian terbuka. Akan tetapi, semenjak menderita gagal ginjal ia menjadi pribadi yang tertutup.
Pada pertemuan pertama bersama tim assessment IZI, gadis itu enggan bercerita banyak. Begitu pertemuan kedua bersama kami, Adinda mulai memberanikan diri membuka diri.
Pada akhir sesi wawancara, Andinda menyempatkan diri berbagi pesan kepada para pembaca INIZIATIF untuk menjaga kesehatan agar tak berakhir seperti dirinya. Jangan terlalu banyak makan mi instant, jangan banyak mengkonsumsi minuman berwarna, dan banyak minum air mineral, adalah kata-kata yang terucap dari lidahnya.
Adinda pun menutupnya dengan sebuah kata-kata semangat bahwa dirinya akan sembuh.
“Bismillah, Adinda ingin sembuh!”
Leave a Reply