Sudah berapa tahun kita hidup di dunia ini? Adakah pelajaran dalam hidup ini yang telah kita ambil untuk menyelamatkan kehidupan abadi kita di akhirat kelak?
Sering kali hari demi hari berlalu tanpa ada 1 hikmah pun yang kita pelajari, sungguh merugi… Mari renungkan 8 pelajaran yang didapatkan oleh Hatim Al Ashom, seorang ulama yang hidup sekitar tahun 751 Masehi, nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan al-Asham , ia belajar dari gurunya Syaqiq Al Balkhi selama 33 tahun, dan inilah 8 inti sari hidup yang diperolehnya:
- Secinta-cintanya manusia, tidak akan mau menemani orang tercintanya sampai ke liang lahat
Siapakah yang rela menemani keluarga atau orang tercintanya yang sudah meninggal di dalam kubur? Hampir tidak ada.
Oleh sebab itu, tidaklah perlu mencintai manusia berlebihan, fokuslah pada apa yang nantinya akan menemani kita sepanjang waktu di alam kubur.
Inilah pelajaran pertama dari Hatim al asham:
“Pertama, kuamati kehidupan manusia, kudapati setiap manusia memiliki kecintaan dan kesayangan. Dari beberapa kecintaannya itu, ada yang menemaninya sampai pada sakit yang menyebabkan kematiannya. Dan ada yang mengantarkannya sampai ke kuburan, setelah itu mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri, tidak ada satu pun yang bersedia masuk ke dalam kubur menemaninya. Kurenungkan hal ini lalu kukatakan: sebaik-baik kecintaan adalah yang mau menemani seseorang di dalam kubur dan menghiburnya. Aku tidak mendapatkan yang demikian itu kecuali amal saleh. Oleh karena itu, kujadikan amal saleh sebagai kecintaanku agar dapat menjadi pelita kuburku, menghiburku di dalamnya, dan tidak akan meninggalkanku seorang diri.”
- Musuhilah hawa nafsu
Mau makan ini… diturutin. Mau beli baju itu… diturutin. Begitulah manusia dalam memperturutkan nafsu. Coba simak pelajaran kedua yang diperoleh Hatim:
Kedua, kuperhatikan bahwa manusia selalu memperturutkan hawa nafsunya, dan bersegera dalam memenuhi keinginan nafsunya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan ada pun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan-keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal-Nya.” (An-Nazi’at: 40-41)
Aku yakin bahwa al Quran adalah haq dan benar, maka aku segera menentang nafsuku dan menyiapkan diri untuk memeranginya. Tidak sekali pun aku ikuti kehendaknya sampai akhirnya ia tunduk dan taat kepada Allah.
- Harta yang disedekahkan justru merupakan simpanan yang sebenarnya
Bukan saldo tabungan atau emas berlian dan koleksi tas LV yang akan menolong kita di akhirat kelak. Akan tetapi, harta yang kita bagikan pada orang yang membutuhkan.
Ketiga, aku lihat setiap orang berusaha mencari harta dan kesenangan duniawi, kemudian menggenggamnya erat-erat. Lalu kurenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal.” (An-Nahl: 96).
Karena itu, kubagi-bagikan dengan ikhlas penghasilanku kepada kaum fakir miskin agar menjadi simpananku kelak di sisi-Nya.
- Kemuliaan bukan terletak pada banyaknya pengikut, harta, ataupun kekuasaan
Jutaan followers di IG dan FP tidak menandakan seseorang itu mulia, demikian pula harta yang melimpah ruah… tidak jadi jaminan kemuliaan diri kita. Terus… apa dong indikasi kebaikan atau kemuliaan seseorang di hadapan Allah? Inilah pelajaran keempat:
Keempat, kuperhatikan sebagian manusia beranggapan bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pengikut dan famili, lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Yang lain mengatakan terletak pada harta yang melimpah dan anak yang banyak, lalu mereka bermegah-megah dengannya. Sebagian yang lain mengira terletak dalam merampok harta orang lain, menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Dan sebagian lagi meyakini dengan menghambur-hamburkan dan memboroskan harta.
Aku lalu merenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (al-Hujurat: 13). (SH)
Bersambung part 2
Leave a Reply