Berikut ini lanjutan dari pembahasan sebelumnya mengenai 8 pelajaran yang diperoleh Hatim Al Ashom dari gurunda Syaqiq Al Balkhi, setelah belajar pada sang guru selama lebih dari 30 tahun lamanya:
- Tidak perlu merasa iri karena rezeki sudah diatur
Tak sedikit orang yang sirik dan hasad begitu melihat kenikmatan yang diperoleh orang lain. Padahal ini adalah keanehan… seaneh penguin iri melihat bebek kampung yang badannya kecil lincah dan bulunya tidak tebal.
Setiap orang sudah didesain kondisi hidupnya sesuai dengan kebutuhannya lho. Inilah pelajaran kelima dari Hatim:
Kelima, kuperhatikan manusia sering saling menghina dan bergunjing (ghibah). Perbuatan buruk itu ditimbulkan oleh perasaan hasad (dengki) sehubungan dengan harta, kedudukan, dan ilmu. Kemudian kurenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia.” (az-Zukhruf: 32).
Maka tahulah aku bahwa pembagian itu telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, aku tidak boleh mendengki siapa pun dan harus rela dengan pembagian yang telah diatur oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
- Jangan bermusuhan sesama saudara seiman, Setan adalah musuh yang nyata
Sesama muslim saling menghindar dan bermusuhan? Jangan lebih dari 3 hari ya. Sungguh, musuh bersama kita adalah setan, dialah yang harus ditaklukkan.
Keenam, kuperhatikan manusia saling bermusuhan satu dengan yang lainnya karena berbagai sebab dan tujuan. Lalu kurenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian).” (Fathir: 6). Maka sadarlah aku bahwa aku tidak boleh memusuhi siapa pun kecuali setan.
- Jangan menyibukkan diri dan berharap pada selain Allah
Sibuk kerja, pontang panting tiap hari sampai lupa kewajiban pada Allah, nggak shalat… nggak ngaji… nggak zakat, inilah kebodohan yang sebenarnya… mengapa bisa terjadi kebodohan seperti ini? Karena kita hanya berorientasi hidup dunia saja. Lalai akan akhirat.
Ketujuh, kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara yang dapat menghinakan diri dan merugikan kehormatannya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya.” (Hud: 6)
Maka sadarlah aku bahwa sesungguhnya rezeki ada di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan Ia telah memberikan jaminan. Oleh karena itu, aku lalu menyibukkan diri dengan beribadah dan tidak meletakkan harapan pada selain-Nya.
- Cukupkan diri dengan tawakal pada Allah
Harta sebanyak apapun takkan membuat kita merasa cukup, justru sikap tawakal dan berserah diri pada Allah lah yang menjadi kunci perasaan cukup dan puas itu bisa kita rasakan. Inilah pelajaran terakhir yang penting untuk dicamkan:
Kedelapan, kuperhatikan sebagian orang menyandarkan diri pada benda-benda buatan manusia, sebagian orang bergantung pada dinar dan dirham, sebagian pada harta dan kekuasaan, sebagian pada kerajinan dan industri, dan sebagian lagi pada sesama makhluk. Lalu kurenungkan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (at-Thalaq: 3).
Maka aku pun lalu bertawakkal kepada Allah dan mencukupkan diri dengan-Nya, karena Ia adalah sebaik-baik Dzat yang bisa kupercaya untuk mengurus dan melindungi semua kepentinganku.”
8 Pelajaran di atas merupakan pokok-pokok inti setiap kitab yang Allah turunkan, mulai dari zabur, Taurat, Injil dan juga Al Quran. Maka hendaknya kita bersungguh-sungguh untuk merenungkannya. (SH)
(sumber buku: Duhai Anakku Wasiat Imam Ghazali, penulis Imam Al-Ghazali)
Leave a Reply