Allah SWT mensyariatkan ibadah qurban kepada kaum muslimin berdasarkan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah!” (QS Al-Kautsar: 1-2)
Menurut Imam Ibnu Katsir (Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 2008, h.viii/314) bahwa yang dimaksud dengan ‘berqurbanlah’ (وانحر) adalah perintah untuk menyembelih qurban. Hal itu diperkuat dengan sabda Nabi SAW dari Al-Barra’ bin Al-‘Azib RA:
“Barangsiapa shalat (ied) sebagaimana shalat kami, dan menyembelih (qurban) sebagaimana kami menyembelih maka ia telah sesuai dengan ibadah qurban kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari 983, Muslim 1961)
Allah SWT telah melimpahkan karunia kepada kaum mukminin baik di dunia terlebih di akhirat, termasuk di antaranya adalah telaga Kautsar. Untuk itu, Allah SWT memerintahkan agar mereka mendirikan salat dengan penuh keikhlasan dan berqurban atas nama-Nya tanpa menyekutukan dengan sesuatu apapun pun.
Sementara di dalam Surat Al-Hajj ayat 36, menurut Imam Ibnu Katsir (h.v/270), Allah SWT menjadikan penyembelihan qurban pada hari Nahr, khususnya unta dan sapi, sebagai syiar agama Islam. Hal itu diperkuat dengan hadits Nabi SAW dari Aisyah RA:
“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adhha) yang lebih dicintai oleh Allah selain dari pada mengucurkan darah (hewan qurban). Karena sesungguhnya ia (hewan kurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR Tirmidzi 1493 dan Ibnu Majah 3126)
Imam Tirmidzi juga menambahkan suatu riwayat dari Rasulullah SAW: “Pemiliknya akan mendapat satu kebaikan dari setiap bulunya.”
Selain ayat dan hadits, dasar pensyariatan qurban yang lain adalah ijma’ (Fiqh Sunnah, Sayid Sabiq, 1983, h.ii/274). Imam Ibnul Mudzir telah menghimpun beberapa ijma’ ulama yang berkaitan dengan ibadah qurban (Al-Ijma’, 2004, h.60).
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berqurban, yakni apakah wajib atau sunah?
Imam Syafii, Imam Malik, dan Jumhur (Abu Malik Kamal, 2013: ii/369) berpendapat bahwa qurban hukumnya sunnah muakadah, demikian pula dua sahabat Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Muhammad. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat hukumnya wajib bagi muslim yang mampu dan berstatus muqim, sehingga tidak wajib bagi yang sedang bepergian (safar). (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd, 2018, h.445)
Dalil pendapat yang mewajibkan qurban adalah amalan Rasulullah SAW, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan qurban meski dalam perjalanan, sebagaimana dalam hadits Tsauban RA: “Rasulullah SAW pernah menyembelih hewan kurban, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Tsauban, simpanlah daging ini sebagai perbekalan!’ Dan saya terus saja memakannya (dalam perjalanan) sampai tiba di Madinah.” (HR Muslim 1975).
Ulama kontemporer seperti Syaikh Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1983, h.ii/274) dan Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqh Sunnah (2013, h.ii/367) memilih pendapat yang mengatakan bahwa qurban hukumnya sunnah muakkadah. Dalil-dalil yang menjadi sandarannya di antaranya:
Hadits riwayat Ibnu Abbas RA Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk berqurban, tetapi hukumnya tidak wajib.” (HR Daruquthni 4750)
Hadits Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berqurban maka hendaklah ia menahan (tidak memotong) rambut dan kukunya!” (HR Muslim 1977)
Menurut Ibnu Rusyd (2018, h.446), Sayid Sabiq, dan Abu Malik Kamal, kalimat ‘ingin berqurban’ (أراد أن يضحي) merupakan petunjuk (dalil) bahwa amalan tersebut hukumnya sunnah, bukan wajib.
Terdapat beberapa riwayat yang shahih (Abu Malik Kamal, 2013: ii/367 ; Sayid Sabiq, 1983: ii/274) dari sahabat Nabi SAW bahwa mereka pernah tidak melaksanakan qurban karena khawatir kelak akan dianggap sebagai wajib.
Imam Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir (1999, h.xix/72) mengatakan bahwa ijma’ telah terjadi di kalangan sahabat bahwa qurban hukumnya tidak wajib.
Imam Al-Mawardi (1999, h.xix/72) meriwayatkan pula bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Umar bin Khattab RA pernah tidak berqurban karena khawatir kelak dipandang sebagai ibadah wajib.
Diriwayatkan pula dari Abu Mas’ud Al-Anshari RA ia berkata, “Aku pernah tidak berqurban pada saat aku sedang lapang supaya tetangga-tetanggaku tidak mengiranya sebagai kewajiban.” (HR Baihaqi dalam As-Shaghir 1815 dan Abdur Razaq 8149)
Selain dari Abu Mas’ud Al-Anshari RA, Imam Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (19035) dan Abdur Razaq dalam Mushannaf (8139) juga meriwayatkan dari Hudzaifah bin Asid RA bahwa ia pernah melihat Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA tidak berqurban.
Dilihat dari dalil aqli, ibadah qurban tidak mengharuskan seseorang untuk mengqadha’nya ketika ia tidak bisa melaksanakannya pada waktu yang telah ditentukan (10-13 Dzulhijjah) meski ia mampu menqadha’. Hal itu sebagimana ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Waullahu A’lam.
Baca artikel lainnya
https://izi.or.id/abon-kita-qurban-izi-solusi-qurban-di-tengah-pandemi-chef-ragil-kualitas-daging-lebih-terjaga/
Leave a Reply