Allah Swt mengabarkan kepada kita tentang sejarah qurban, bahwa syariat tersebut bermula sejak zaman Nabi Adam As. Disebutkan dalam surah Al-Maidah ayat 27 tentang kisah dua putra Nabi Adam As yang melaksanakan qurban. Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt:
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),” (QS Al-Hajj: 34)
Syariat qurban ditegaskan kembali oleh Allah Swt dalam kitab-Nya ketika menceritakan kekasih-Nya, Nabi Ibrahim As dan puteranya, Ismail As. Nabi Ibrahim As pernah berdoa, “Ya Tuhanku, anugrahkan-Lah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh!” (QS As-Shafat: 100) Beliau berdoa meminta agar dikaruniai keturunan yang soleh bahkan sebelum Allah Swt menciptakan keturunan tersebut.
Kesalihan sang anak terbukti ketika ia menyambut perintah Allah Swt untuk disembelih. Ketika ia beranjak dewasa, datanglah perintah itu melalui mimpi sang ayah. Tidaklah mimpi seorang nabi melainkan adalah wahyu.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (QS As-Shafat: 102)
Sebagai seorang ayah sekaligus nabi yang sebenarnya memiliki kuasa atas anaknya, Nabi Ibrahim As tidak serta merta melaksanakan perintah tersebut sebelum bermusyawarah terlebih dahulu bersama sang anak. Musyawarah antara keduanya bukanlah karena ragu-ragu, melainkan mempersiapkan pelaksanaan perintah Sang Ilahi.
Nabi Ismail As sama sekali tidak menentang dan menyalahkan mimpi sang ayah, ia justru berkata, “Laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu, Ayah!” Mimpi tersebut bagi Nabi Ismail As adalah perintah Ilahi yang wajib dilaksanakan tanpa memandang apakah itu akan sulit atau berat.
Ketika Allah Swt melanjutkan kisah tentang kekasih-Nya, Dia berfirman, “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).” (QS As-Shafat: 103) Kata ‘keduanya berserah diri’ (aslamaa) bukan berarti sebelumnya Nabi Ibrahim As dan Ismail As tidak berserah diri, melainkan dengan terlaksananya perintah tersebut maka keduanya mencapai derajat keberserahandiri (Islam) yang paling tinggi.
Melalui ayat itu pula, Allah Swt membandingkan antara pengorbanan Nabi Ibrahim As dan puteranya dengan kaum Bani Israil, di mana ketika nabi mereka, Nabi Musa As, memerintahkan untuk menyembelih seekor sapi saja, mereka justru berkelit dan tidak kunjung melaksanakannya. Adapun kita, umat Nabi Muhammad Saw, menyembelih kurban untuk menghidupkan sunah berserahdiri kepada Allah dan tundukan terhadap perintah-Nya sebagaimana Nabi Ibrahim As dan Ismail As.
Allah Swt berfirman, “Dan Kami panggil dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu (perintah Allah).’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan (kambing) yang besar.” (QS As-Shafat: 104-107).
Perintah mengorbankan anak benar-benar menjadi ujian yang berat bagi Nabi Ibharim As. Tidakkah beliau baru dikaruniai keturunan tatkala usianya memasuki 86 tahun, sedangkan pada saat itu Ismail As adalah anak satu-satunya bagi beliau.
Dengan dilaksanakannya perintah berqurban itu, tidaklah Allah Swt menginginkan darah ataupun dagingnya, melainkan Allah Swt menghendaki hamba-Nya berserah diri, tunduk, dan yakin kepada-Nya. Oleh sebab itu, Allah Swt mengganti posisi Nabi Ismail As dengan domba yang kemudian disembelih oleh Nabi Ibrahim As.
Qurban mulai disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad Saw pada tahun ke-2 Hijriah. Tahun di mana diperintahkan salat Ied dan zakat maal (Hasyiah Bujairimi ‘ala Syarh Al-Minhaj: iv/294).
Hikmah disyariatkannya qurban kepada umat Islam antara lain; (1) bersyukur kepada Allah Swt atas limpahan karunia-Nya, (2) menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim As yang diperintahkan menyembelih hewan sebagai pengganti anaknya pada hari Nahr, (3) mengingatkan kaum mukminin pada ketabahan Nabi Ibrahim As dan Ismail As, dimana keduanya mengutamakan ketaatan dan kecintaan kepada Allah daripada kepada diri dan anak keturunan.
Idul Adha mengingatkan kepada makna pengorbanan di jalan Allah Swt dengan jiwa, harta, dan segala sesuatu yang dikaruniakan Allah Swt kepada kita. Pada saat ini, kita sangat membutuhkan hadirnya nilai-nilai pengorbanan, dimana masih banyak kaum muslimin yang tertinggal, terbelakang, dan terbelenggu oleh berbagai macam persoalan. Seseorang yang berkorban dengan jiwa, harta, kesungguhan, dan lisannya, sesungguhnya sedang berjihad di jalan Allah Swt.
Sumber: Dewan Pengawas Syariah (DPS) IZI
Baca artikel lainnya;
https://izi.or.id/abon-kita-qurban-izi-solusi-qurban-di-tengah-pandemi-chef-ragil-kualitas-daging-lebih-terjaga/
Leave a Reply