Perkembangan teknologi abad 21, kentara sekali bahwa para pembaharu teknologi masa kini ditemukan oleh orang-orang nonmuslim. Seperti pada teknologi informasi. Ada penemu facebook yang seorang Yahudi. Dari facebook, Mark Elliot Zuckerberg pernah mensedekahkah Rp. 11 Triliun di tahun 2015 ke yayasan yang ia bangun bersama istrinya. Sedekah itu membantu yayasan pendidikan, kesehatan serta layanan umum lainnya.
Lain hal dengan facebook, di dunia elektronik ada Steven Paul Jobs yang menemukan produk Apple Computer. Hingga kini, usaha yang digeluti Jobs meluas ke ranah iPhone dan iBook. Facebook dan Apple adalah segelentir produk yang memiliki manfaat bagi kebutuhan manusia akan teknologi informasi.
Namun, perlu dipertanyakan, “Kemanakah ilmuan Muslim masa kini? Kok perkembangan teknologi dikuasai oleh mayoritas non muslim?”
Mari tengok sejarah. Al-Jabar yang menjadi dasar penemuan teknologi terkemuka masa kini, ditemukan oleh Al Khawarizmi. Bidang ilmu yang kita kenal sebagai solusi sistematik dan linear, serta notasi kuadrat dalam dunia matematika tersebut adalah hasil penemuan dari seorang Muslim asal Persia.
Tentu kita pun mengetahui seorang Muslim asal Bukhara yang mempublikasikan penemuan pertamanya di dunia medis. Ia adalah Ibnu Sina atau dikenal Avicenna oleh peradaban barat. Karya fenomenal yang dikenal sepanjang masa tersebut adalah Mantik Al Syifa yakni sebuah buku paling otentik dalam ilmu mantik Islami. Bukankah Al-Khawarizmi dan Ibnu Sina adalah tokoh ilmuan muslim yang memiliki peran teramat penting dalam peradaban teknologi kekinian?
Ilmu yang mereka temukan menjadi dasar dari perkembangan teknologi, entah teknologi informasi maupun medis dan bahkan semua perkembangan teknologi. Tak banggakah kita sebagai Muslim atas penemuan mereka? Atau jangan-jangan, kita termasuk orang-orang yang melupakan jasa-jasa ilmuan Muslim sehingga menganggap orang Muslim sendiri adalah masyarakat dengan peradaban teknologi tertinggal?
Februari 2016, Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs) Edwar Technology milik Dr. Warsito Purwo Taruno, diberhentikan praktiknya oleh pemerintah Republik Indonesia. Penemu EECT (Electrical Capacitanse Volume Tomograph) sebagai alat pembasmi kanker otak dan kanker payudara tersebut merupakan ilmuan Muslim asal Indonesia yang karyanya kurang dihargai oleh pemerintah Indonesia.
“Itulah yang menjadi salah satu problem dari ilmuan-ilmuan Indonesia saat ingin mengaplikasikan hasil temuannya di negeri sendiri,” ungkap Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M. Eng. selaku Chairman Indonesian Society for Nano LIPI.
Menjadi seorang ilmuan merupakan sebuah pilihan. Apakah akan menjadi ilmuan yang ingin kaya atau menjadi penemu yang hasil karyanya bisa bermanfaat untuk masyarakat? Sekelumit tujuan awal dari calon ilmuan tersebut yang sering ditekankan oleh pria kelahiran Malang, 5 Agustus 1970 lalu. Hal tersebut menjadi penting ditanyakan, mengingat menjadi seorang ilmuan atau peneliti tidaklah semudah membolak-balikkan tangan, yang satu hari penelitian langsung bisa menemukan ramuan terbaru dan bermanfaat.
Di Indonesia, kesulitan yang sering dialami oleh peneliti adalah adanya sistem dalam negeri yang terkesan kurang mendukung adanya penelitian terbaru. “Sistem yang belum terbentuk dengan baik. Dimana, kebanyakan masyarakat menilai bahwa seorang ilmuan itu anti kemapanan. Padahal dengan menjadi seorang ilmuan, kita pun diajarkan untuk menjadi entrepreneur,” tukas mahasiswa doktoral Teknik dan Material Proses Universitas Kagoshima Jepang angkatan tahun 1997-2000.
Mantan mahasiswa dari program S1-S3 di Universitas Kagoshima Jepang tersebut menambahkan bahwa menjadi peneliti adalah jalan yang baik. Seorang peneliti bukan orang yang mengharapkan menjadi profesor yang kaya, melainkan menjadi pribadi yang dapat memberikan manfaat. Jika ada orang Indonesia yang enggan menjadi ilmuan, tentu saja ia bisa melihat pengalaman dari ilmuan-ilmuan sebelumnya. Terlebih kurangnya motivasi untuk menjadi peneliti serta anggaran untuk penelitian yang belum memadai.
Seperti BJ. Habibi yang tenar dengan temuan teknologi pesawatnya, namun bangsanya sendiri menolak karya tersebut. “Demikian pula dengan Dr. Warsito. Hal amat sangat disayangkan, karena niat baik para peneliti untuk perkembangan bangsa malah ditolak dengan alasan yang kurang masuk akal,” tambah peneliti yang fokus di bidang fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Membendung mindset bahwa menjadi peneliti anti kemapanan, maka ilmuan masa kini pun diajarkan untuk mandiri. Melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga penelitian yang bersangkutan. Program tersebut melatih peneliti agar tidak bergantung pada sistem yang ada di pemerintahan. Jika sistem tersebut dapat menyita banyak waktu dari peneliti, maka disitulah letak kerja keras yang ingin ditumbuhkan pada setiap peneliti.
Nyaman atau tidak saat berada di dalam sistem tersebut, peneliti harus memiliki karakter yang tangguh. “Adapun harapan dari diadakannya training dan motivasi, hal tersebut akan mempermudah peneliti dalam menghasilkan karya. Sehingga para peneliti bisa survive untuk tetap menjadi peneliti dan pebisnis,” ucap pria berkacamata tersebut.
Sejatinya, ada alasan kuat mengapa seorang Muslim harus ada yang menjadi seorang ilmuan atau peneliti. Karena Allah dan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertemu pertama kali dengan perintah membaca. “Iqra” begitu perintah Allah. Mendengarnya pun membuat Rasulullah gemetar disekujur tubuhnya. Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu. Artinya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk berpikir. Karena berpikir adalah tanda adanya iman.
Muslim yang beriman, dalam setiap tindakan dan pikirannya selalu melibatkan Allah. Pribadi seperti itulah yang diharapkan dari seorang yang telah memiliki ilmu, terlebih para peneliti. Karena hal tersebut pula yang membedakan, ilmuan Muslim yang beriman dan ilmuan yang tidak beriman. Keimanan dari ilmuan Muslim menjadikan ilmu yang dimilikinya untuk mendekati Allah sedang ilmuan yang kurang atau bahkan tidak beriman, menjadi ilmu sebagai ajang memperebutkan tahta dunia. (susi)
Leave a Reply