Jembatan yang menghubungkan Desa Talagahiang dengan Desa Sipayung meningkatkan aktivitas usaha masyarakat sekitar, khususnya di bidang agrobisnis. Berbagai macam usaha, mulai dari tempat wisata pemancingan hingga rumah makan dan restoran bermunculan di kawasan pinggir sungai. Begitu juga, tambak ikan.
Jembatan Bambu Talagahiang merupakan konstruksi hasil gotong royong warga dan pemerintah desa setempat. Dok. IZI
Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lebak, H. Maman Suparman, S.ST, M.Si, mengemukakan bahwa jembatan tersebut menjadi urat nadi masyarakat sekitar. Di mana, bangunan penghubung antar daerah itu mengakomodir perjalanan warga dan pendatang menjadi lebih singkat.
Keberadaan pesantren di Kecamatan Cipanas, Lebak-Banten juga menjadi faktor peningkatan arus perjalanan warga dari luar daerah, yang berarti meningkatkan permintaan barang dan jasa.
Semenjak banjir bandang yang melanda Lebak, Banten di awal Januari kemarin, seluruh aktivitas usaha itu terhenti. Baik tanaman maupun bangunan terangkat dari akar dan fondasinya. Ikan-ikan yang ditambatkan di sebuah kurungan bambu mati tertimbun pasir. Kini, sisa-sisa rangka jembatan teronggok bersama batu-batu kali.
Jembatan Talagahiang yang dahulunya kokoh kini berdiri rapuh. Perangkat desa dan warga yang mendiami dua desa bergotong royong membangun kembali jembatan itu dari bahan bambu dan kayu.
Dari kemampuan sebelumnya dilintasi kendaraan roda empat, jembatan itu kini hanya mampu mengantarkan kendaraan roda dua, serta telah beberapa kali rubuh akibat banjir susulan.
Testimoni Warga
Pada peletakan batu pertama pembangunan ulang Jembatan Talagahiang, warga desa kembali menaruh bibit ikan mas di rangkaian tambak bambu miliknya. Sekelompok warga tampak asyik mengurusi tambak ikan mereka tanpa menghiraukan kesibukan yang diinisiasi oleh Inisiatif Zakat Indonesia dan MTXL Axiata tersebut.
“Dulu, sebelum ‘tsunami’, kami biasa memanen ikan hingga 15 kilogram, pak. Sayang kalau tidak diteruskan,” ujar Elan kepada kontributor IZI.
Elan (paling kanan) menghidupkan kembali tambak ikan yang sempat terhenti akibat banjir bandang Lebak-Banten pada awal Januari lalu. Dok. IZI
Elan sendiri bukan warga asli Desa Talagahiang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten. Ia merupakan pekerja PNS dari luar daerah yang ditugaskan di sana. Tambak ikan yang berjejer dua baris menengahi sungai itu merupakan gagasan yang dibuat dirinya.
“Waktu ‘tsunami’ datang kemarin bikin ikan-ikan pada mati. Syukurnya, tambak ini tidak ikut hanyut. Jadi kami bisa memulai lagi pelihara ikan mas,” lanjut Elan.
Tanpa kehadiran Jembatan Talagahiang, arus sungai bergerak cepat. Elan kembali mengakhiri penjelasannya dengan harapan bahwa arus tersebut melambat oleh konstruksi baru jembatan yang telah resmi dibangun IZI dan MTXL Axiata tersebut.
Usaha Baru di Tengah Pandemi
Berbeda lagi dengan pernyataan Iwan. Sebelum diumumkannya kasus positif coronavirus pada Maret lalu, ia berprofesi sebagai karyawan pabrik di ibukota. Dampak kehadiran wabah virus asal Wuhan tersebut menyebabkan dirinya masuk dalam daftar pengurangan karyawan oleh pihak perusahaan.
Iwan senantiasa berjongkok di bawah sungai selama wawancara berlangsung. Ketika ditanya aktivitasnya, ia mengaku mengumpulkan sejumlah pasir yang terbawa oleh banjir bandang kemarin.
Terdampak pengurangan karyawan di masa pandemi, Iwan berprofesi sebagai pengumpul pasir. Dok. IZI
“Kalau Covid-19 dinyatakan hilang, saya balik ke kota, pak. Tapi, kondisi seperti ini. Saya musti kerja apaan lagi, selain jualan pasir sungai?” terangnya retoris.
Diakui Iwan lagi, pasir-pasir tersebut dikumpulkannya di sebuah karung yang ditempatkan di pinggiran sungai. Setelah itu, ia menjualnya kepada warga yang membutuhkan dengan harga lima ribu rupiah per karung.
Banjir bandang Lebak pada Januari lalu memang membawa duka bagi warga sekitar. Tetapi setidaknya, setelah kehadiran bencana telah muncul kemudahan, yaitu berupa profesi baru di tengah dampak pandemi Covid-19. (Ed)
Leave a Reply