Puasa Dzulhijjah
Yang dimaksud dengan Puasa Dzulhijjah adalah puasa sunah yang dilaksanakan pada bulan Dzuhijjah selain pada hari Tarwiyah, Arafah, Hari Nahr, dan Hari Tasyriq.
Memperbanyak puasa pada bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan tersendiri dibandingkan dengan bulan-bulan qamariyah lainnya. Hal itu di antaranya karena bulan Dzulhijjah termasuk 4 bulan haram yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya jumlah bulan pada sisi Allah ada 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu!” (QS At-Taubah: 36)
Imam Ibnu katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim (1999, 4/144-148) menyebutkan beberapa riwayat yang bersambung kepada Rasulullah SAW bahwa bulan adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Adapun makna ‘Janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu’ (فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ), Imam Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas dan Qatadah bahwa perbuatan maksiat akan dilipatgandakan dosanya pada bulan-bulan haram, demikian pula ketaatan dan amal shalih akan dilipatgandakan pahalanya.
Terkait puasa, Allah SWT mengistimewakan amal tersebut dibanding amal yang lain sesuai sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah RA:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Semua amal anak Adam pahalanya akan dilipatgandakan; setiap kebaikan akan mendapat 10 sampai 700 kali lipat. Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena puasa itu untukku jadi akulah yang menentukan balasannya. Ia rela meninggalkan syahwat dan makannya demi keridhaan-Ku.” (HR Muslim 1151)
Muslim yang baik tidak akan melalaikan kesempatan untuk meraih pahala puasa sunah yang berlipatganda pada bulan Dzulhijjah, di samping ia juga melakukan amal shalih yang lain seperti dzikir takbir, tahlil, dan tahmid.
Di antara keseluruhan bulan Dzulhijjah, terdapat hari-hari yang lebih utama, yaitu 10 hari pertamanya, di mana Allah SWT dengan 10 hari tersebut:
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ.
“Demi waktu fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS Al-Fajr: 1-2)
Imam Ibnu Katsir (1999, 8/390) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan 10 malam dalam ayat adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal itu sebagaimana dinyatakan sebelumnya oleh Ibnu Abbas RA, Abdullah bin Zubair RA, Mujahid, dan banyak ulama Salaf serta Khalaf.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ … وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari-hari yang di dalamnya amal shalih paling dicintai Allah kecuali hari-hari ini (10 awal Dzulhijjah) …. Tidak pula (amal itu) jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar menghunuskan pedang dan seluruh hartanya, lalu kembali tidak membawa apa-apa lagi.” (HR Abu Dawud 2438)
Dengan demikian, kebaikan puasa Dzulhijjah akan lebih maksimal jika dilakukan secara istiqamah mulai dari awal bulan dengan tidak melewatkan 10 hari pertamanya.
Puasa Tarwiyah
Hari tarwiyah adalah hari ke-8 bulan Dzulhijjah, hari dimana para jamaah haji memulai manasik, Disebut hari tarwiyah karena pada hari terebut air melimpah. (Hasyiyah Al-Bujairimy ‘Ala Syarhil Minhaj, A-Bujairimy, 1959: 6/137)
Hari tarwiyah masih termasuk ke dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, sehingga amal shalih dan ketaatan akan mendapat keutamaan yang sangat tinggi jika dilakukan, termasuk puasa sunnah.
Terdapat suatu riwayat mengenai puasa yang dikhususkan pada hari tersebut atau yang dikenal dengan puasa hari tarwiyah:
صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم عرفةَ كفارة سنتين
“Puasa hari tarwiyah menghapus dosa satu tahun sedangkan puasa hari arafah menghapus dosa dua tahun.” (Jamiul Ahadits, 14/3)
Hadits tersebut dikatakan dhaif, tetapi para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam rangka fadhailul a’mal (memperoleh keutamaan) selama hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Puasa Arafah
Dibandingkan dengan puasa tarwiyah, mengkhususkan puasa sunnah pada hari ke-9 Dzulhijjah dengan niat puasa Arafah mempunyai dasar yang sangat kuat berupa hadits-hadist yang shahih.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah Al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Arafah maka beliau menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR Muslim 1162)
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (n.d., 6/380-381) menyebutkan Jumhur ulama bahwa puasa Arafah disunahkan bagi muslim yang tidak sedang berhaji, sebaliknya menjadi makruh bagi mereka. Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa kecil selama dua tahun yang disebutkan. Adapun dosa-dosa besar akan dapat terhapuskan dengan cara bertaubat dan rahmat dari Allah SWT.
Yang menjadi catatan di sini adalah apakah puasa Arafah dilaksanakan bersamaan dengan wukuf di Arafah? Bagaimana jika penetapan awal Dzulhijjah justru berbeda antar negara, terutama Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi?
Perlu diketahui bahwa Rasulullah SAW hanya melakukan ibadah haji satu kali, yaitu haji wada’. Beliau hanya melakukan wukuf di Arafah satu kali. Kendati demikian, tahun-tahun sebelumnya para sahabat sudah mendapati Rasulullah SAW berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Diriwayatkan dari Umu Fadhl RA, ia menceritakan:
أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ، فِي صِيَامِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ صَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَيْسَ بِصَائِمٍ، فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ، وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ بِعَرَفَةَ، فَشَرِبَهُ
“Sebagian sahabat merasa ragu pada saat wukuf Arafah apakah Rasulullah SAW berpuasa atau tidak. Sebagian berkata beliau berpuasa, sebagian lagi mengatakan tidak. Lalu saya kirimkan segelas susu kepada Nabi saat beliau Wukuf di atas untanya, lalu Nabi meminumnya” (HR Bukhari dan Muslim 1123)
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1379H, 4/237) megatakan bahwa perbedaan pendapat di antara para sahabat mengenai puasa Arafah Rasulullah SAW tersebut menunjukkan bahwa puasa Arafah sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin pada saat tidak bepergian.
Oleh sebab itu, penentuan puasa Arafah kembali kepada penentuan hilal bulan Dzulhijjah oleh kaum muslimin.
Allahu A’lam.
Baca artikel lainnya
https://izi.or.id/abon-kita-qurban-izi-solusi-qurban-di-tengah-pandemi-chef-ragil-kualitas-daging-lebih-terjaga/
Leave a Reply