Cukup sembilan detik gempa Lombok meluluhlantakkan bangunan di sekitar desa Dangiang.
Jika pembaca diberikan waktu sekian, apa yang akan dilakukan?
Bagi Pak Kemin (54 tahun) hanya tahu lari dari kediamannya; menyelamatkan diri. Setelah gempa mereda, yang ia inginkan hanyalah selalu berada didekat keluarganya.
“Waktu adalah pedang”. Kutipan Imam Syafi’i ini dapat dimaknai secara harfiah.
Waktu dalam konteks bencana adalah kematian. Manusia harus berlomba dengan waktu mencari celah lolosnya mereka dari bilah pedang malaikat maut.
Sebelum gempa utama terjadi pada tanggal 5 Agustus, telah terjadi hal serupa di tanggal 29 Juli 2018 lalu. Pihak BMKG sudah mengumumkan peringatan akan adanya gempa yang lebih besar setelahnya.
Penduduk Lombok, khususnya desa Dangiang sudah bersiap-siap akan perihal tersebut. Namun tetap saja, sembilan detik terlalu cepat bagi respon manusia.
Tidak hanya Pak Kemin, Pak Ikhsan (39 tahun) harus melewati pengalaman yang hampir pahit.
Kala itu, Pak Ikhsan ikut berzikir di rumah kerabatnya yang tengah berduka. Tiba-tiba saja alam bergemuruh serupa teriakan halilintar. Tanah naik-turun bertumbukan. Lampu padam; warga histeris.
Langkah kaki mantan TKI itu serasa dihantam tanah. Terus-menerus hingga jungkir balik berkali-kali. Ia hanya mengingat istri dan anak-anaknya. Namun, permukaan tanah seakan tak mau bekerjasama.
Sembilan detik kejadian gempa tak mampu dijangkau Pak Ikhsan menggapai sang istri dan anaknya yang terkubur di dalam puing-puing rumahnya.
Syukurlah, baik istri dan anak Pak Ikhsan juga Pak Kemin dapat berkumpul kembali meski terluka cukup serius. Qadar Allah yang menjaganya dari kematian, meski tampak tak mungkin.
Waktu yang diberikan Allah kali ini harus diisi dengan rasa syukur dan siap siaga. Di samping itu, kepedulian kepada sesama saudara se-muslim dan sesama manusia harus pula diisi. Karena manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Leave a Reply