Harfiahnya, Idealisme lahir dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya, dan kebiasaan dari lingkungan orang bersangkutan. Cerdas, berintergrasi; terutama bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan dan pekerjaan di negara-negara maju. Namun seringkali mereka dilematis dengan kondisi kekinian akibat visinya yang melampaui itu semua.
Sirajudin adalah salah satunya.
Belajar dari pengalaman 11 tahun tinggal di Negeri Sakura, Sirajudin memahami konflik kepentingan dalam bidang kemanusiaan. Ia menemui adanya orang yang tulus ikhlas dalam membantu, namun kecewa tidak diikutsertakan di acara tertentu.
Seperti halnya saat Sirajudin beserta rekan-rekan di Ikatan Keluarga Muslim Indonesia (IKMI) Mikawa – Aichi, Jepang, yang selesai menyelenggarakan konser kemanusiaan bagi korban tsunami Aceh 2004 silam. Warga Jepang yang kebetulan mengetahui euforia tersebut merasa kecewa tidak dilibatkan.
“Belakangan temen-teman di Jepang protes. ‘Ini aksi kemanusiaan, karena itu di open saja untuk umum,’ kata mereka,” tutur pria yang sering dipanggil Hory ini.
Komplain yang dilayangkan warga asli Jepang direspon Sirajudin dan kawan-kawan dari IKMI dengan menghadirkan kembali konser kemanusiaan lanjutan bagi korban bencana Aceh; begitu juga ketika bencana gempa Yogyakarta (2006) terjadi. Menghindari sikap ekslusif dalam bersosialisasi justru mendatangkan keberkahan. Hal ini terbukti dengan terkumpulnya donasi hingga 200 juta rupiah pada masing-masing acara.
Kembali ke Indonesia
Pengabdian Sirajudin kepada kemanusiaan terus ia lanjutkan meski telah kembali ke tanah air. Hal ini terlihat jelas dengan lahirnya Yayasan Ibnu Hamzah al-Amin (YIHA) yang ia dirikan pada tahun 2007. Sirajudin juga menjadi inisator lahirnya Yayasan Ashabul Yamin pada 2015. Salah satu lingkup kerja yayasan tersebut menghimpun dan penyaluran dana zakat, infak, dan sedekah, khusus di wilayah Lombok Utara, NTB.
Qadarullah; 2018 kemarin pulau Lombok diguncang gempa hingga kekuataan 7 S.R. Masjid, musala, sekolah dan rumah tinggal tak luput diamuk gempa. Banyak kesedihan yang disaksikan Sirajudin di lingkungan tempatnya dilahirkan.
Belum lagi, berdatangan bantuan dari lembaga kemanusiaan nasional yang menginginkan rumah milik keluarga besar Sirajudin tuk dijadikan basecamp mereka. Pengalamannya selama di Jepang mengemuka bahwa hal ini berpotensi terjadinya konflik kepentingan dengan relawan lokal ke depan.
Sirajudin segera mencari solusi cepat dengan memberikan alternatif kediaman saudaranya sebagai posko kemanusiaan lokal, dan memuliakan IZI, selaku lembaga zakat nasional, sebagaimana layaknya tamu dari jauh di kediaman keluarga besarnya.
“Ada dua lembaga meminta meminta hal sama, saya sempat bingung. Saya putuskan menerima IZI, karena naluri kemanusiaan lebih menonjol waktu itu ketimbang misi menjadi anggota dewan (DPRD),” tuturnya.
Pilihannya itu tepat karena berakhir tanpa adanya conflict interest selama proses penanggulangan pasca-bencana berlangsung. Tiap lembaga, baik yang lokal maupun nasional bisa bekerja secara kondusif di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara. (DH)
Leave a Reply