Untuk mencegah penularan Covid-19 di tengah-tengah masyarakat, Pemerintah Indonesia menerapkan kontrol sosial bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah setempat, dan wajib dilaksanakan oleh setiap warganya.
Provinsi DKI Jakarta merupakan yang pertama kali memberlakukan kontrol sosial tersebut pada tanggal 10 April besok. Protokol ini juga akan diikuti oleh provinsi lainnya, seperti halnya Jawa Barat.
Beberapa di antara aturan PSBB adalah pembatasan jumlah penumpang dalam satu unit kendaraan pribadi maupun umum. PSBB juga mengatur kegiatan berkumpul dalam satu wilayah yang dibatasi maksimal lima orang saja.
Ketatnya aturan PSBB memiliki dampak hukum bagi pelanggarnya. Di satu sisi, meski roda ekonomi tetap berjalan, pekerja informal harus mencari celah baru agar mampu bertahan di kondisi serba sulit seperti ini.
Di beberapa kesempatan, Inisiatif Zakat Indonesia yang ikut melakukan asesmen dan penyaluran bantuan hadapi wabah Covid-19 berinteraksi dengan para dhuafa dan pekerja informal. Melalui mereka terekam beberapa informasi terkait kondisi selama wabah ini berlangsung.
Pengemudi Ojek Daring
Bagi Iwan maupun Heni Desmianti (57) yang sama-sama pengemudi ojek daring, kemunculan pandemi Covid-19 merupakan masa-masa sulit. Orderan sepi. Diakui sendiri oleh Iwan bahwa orderan sekali dalam sehari bisa menjadi begitu langka.
Iwan yang juga tergabung di dalam komunitas Serikat Pekerja Ojek Daring (Speed) ikut mencermati dinamika perkembangan isu wabah virus corona ini, terutama pemberlakuan PSBB yang segera dilaksanakan Pemprov DKI Jakarta besok.
“Saya, selama dari pihak penyedia aplikasi tidak mengunci permintaan penumpang, tetap akan ambil pak. Saya memang akan lebih memilih pengiriman makanan atau barang, sesuai anjuran pemerintah. Tapi kalau dari perusahaan aplikasinya masih buka penumpang, saya ambil,” tuturnya dilematis.
Pekerja jalanan semacam pengendara ojek daring memiliki dua kemungkinan di tengah pandemi Covid-19, mati karena kelaparan atau mati akibat terpapar virus mematikan tersebut. Hal itu sama-sama diakui Iwan juga Heni.
Sedangkan Heni sendiri lebih memilih gunakan cara yang lebih aman.
“Saya yang penting waspada. Tidak terlalu banyak berkomunikasi dengan pelanggan, menggunakan masker tiap beraktivitas ke luar, dan terima orderan dari rumah saja,” aku single parent tersebut.
Pada dasarnya ibu 5 (lima) anak ini khawatir juga terjangkit virus corona. Heni mengerti untuk tidak terlalu banyak beraktivitas ke luar rumah. Akan tetapi, tugasnya selaku pengendara ojek daring memaksanya untuk tidak membatasi diri melayani orderan pelanggan.
Guru PAUD
Farahdara Drian Iqlima (34) memiliki aktivitas rutin sebagai Guru di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Buah Menteng 01, Jakarta Pusat. Di sela-sela kegiatannya, perempuan keturunan asli Aceh itu mencari penghasilan dengan menjadi penulis konten dan mengajar privat.
Semenjak pengumuman isu positif Covid-19 pada Maret lalu, rutinitas yang diakukannya mulai menjauh darinya. Murid-murid PAUD Buah Menteng 01 dirumahkan, rumah makan cepat saji yang biasa digunakannya mengajar privat tak lagi menerima pelanggan makan di tempat, begitupun panggilan menulis lepas susah dicari.
“Di PAUD, orangtua pada belum bisa bayaran. Boro-boro buat bayaran, deh. Buat hidupin keluarga pada kewalahan. Minggu pertama masih, ok. Sekarang udah pada keok buat kirim tugas anaknya. Daripada buat beli kuota internet, mending buat isi perut sendiri,” keluhnya.
Ia mempertanyakan efektivitas pemberlakuan kontrol sosial PSBB di ibukota. Hal itu disebabkan kebutuhan pokok warga belum mendapatkan jaminan dari pihak terkait.
“Kemarin saya ke pasar. Ada kejadian rebutan makanan sesama Ojol dari donasi keliling. Terus, tetangga saya cerita, kemarin dapat kupon buat ambil makanan di warteg. Kuponnya dirampas sama warga, dong. Yang kayak gitu ngga ada yang tahu kan? Tapi hal-hal gitu benar-benar terjadi di masyarakat,” ia mengisahkan.
Pekerja Tunanetra
Hariyanti (43) menjadi tunanetra semenjak lahir. Sebagai disabilitas, warga domisili Joglo, Jakarta Barat, itu beraktivitas sebagai tukang urut dan menjajakan dagangan kerupuk di pinggir jalan.
Dampak kehadiran wabah Covid-19 di ibukota Jakarta tak pandang bulu. Usaha dan aktivitas kesehariannya tidak lagi memberikan hasil.
“Yang mau urut ketakutan. Dagang kerupuk sudah sepi. Jauh pendapatannya dari yang kemarin. Sekarang aja pabrik kerupuk sudah tutup. Mereka hanya menjual sisa-sisa produksi terakhir,” Hariyanti mengungkapkan.
Ketika bertemu Hariyanti saat pembagian paket sembako untuknya hadapi dampak Covid-19, Tim IZI menyadari bahwa ia tidak segan melakukan kontak fisik dengan orang-orang dan barang-barang sekitarnya. Hal itu disebabkan Hariyanti melihat dengan inderanya yang lain.
Sebagai tunanetra ia memahami aturan pembatasan interaksi sosial dari pemerintah itu. Hariyanti juga dapat membayangkan toko-toko akan tutup, jalanan juga akan sepi, dan suaminya tak akan lagi bisa mengamen demi sesuap nasi.
Saat pembagian paket sembako, Hariyanti dan rekan-rekannya sesama tunanetra tidak menggunakan alat pelindung diri. Mereka akui tidak terbiasa menggunakan APD, karena akan membuatnya kesulitan mengenal lingkungan yang ada di sekitarnya.
“Sumpek aja gitu. Pasrah aja, saya mah. Saya percaya sama keajaiban Allah saja,” tutur Hariyanti. (ED)
Leave a Reply