Nuansa merah bata mengawang di udara. Dusun Damai Indah, Dangiang, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara serasa di luar Indonesia. Gersang, berdebu, dan tak terurus.
Sisa-sisa bangunan masih berdiri dengan puing-puing yang terhampar di sekelilingnya. Tim Relawan Inisiatif Zakat Indonesia melewati jalan dusun yang tampaknya belum memiliki nama.
Semakin masuk ke dalam Damai Indah, tim IZI melihat lembaga swadaya masyarakat disatukan dalam satu lokasi dan tenda yang bertetanggaan. Ada Church of Nazarene, ada dari Muhammadiyah, dan lainnya.
Di lokasi tersebut juga terdapat posko kesehatan, dimana halaman depannya menjadi ruang berkumpul dan menerima tamu formal dari luar.
Agak ke dalam lagi, jalanan makin sumpek dengan puing-puing. Namun anehnya, ada begitu banyak batu bata tersusun secara rapih. Beberapa puluh meter dari susunan bata tersebut, sebuah lubang menganga di dalam tanah.
Seorang warga menginformasikan bahwa sebagian mereka memiliki profesi sebagai penjual batu bata. Produknya bersumber dari tanah di halaman itu. Digali, dicetak, lalu dibakar hingga mengeras.
Setelah mencapai seribu cetak bata, mereka jual sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah kepada warga di sekitar desa Dangiang.
Saat kami tanya, apakah bata-bata itu dijual ke luar desa ini? Mereka hanya menjawab, “tidak”.
“Lalu, setelah gempa kemarin terjadi, apa masih ada yang membeli batu bata tersebut?”
Mereka hanya berkata penuh kepasrahan, “sudah tidak ada, pak. Warga di sini trauma punya rumah berbatu”.
Cukup masuk akal.
Semenjak gempa utama berkekuatan magnitudo 7 itu, warga memang tak mau lagi membangun rumah berbatako ataupun berbahan batu bata. Mereka ingin kembali dengan kearifan yang dibawa para leluhurnya terdahulu.
Jadilah hasil produksi warga Damai Indah terbengkalai tak terjamah. Ekonomi keluarga pun tersendat, akibat dampak bencana gempa.
Itulah mengapa Damai Indah berkabut merah bata.
Penulis: Dzul Ikhsan
Editor: Ricky IZI Pusat
Leave a Reply