Rumah Singgah Pasien (RSP) Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Perwakilan Jawa Timur (Jatim) nampaknya sudak tak hanya bermakna rumah singgah seperti namanya, namun jauh melampaui dari hanya sekedar tempat pasien menginap, tidur, dan berhajat. Siapa sangka, di dalam rumah tua yang sederhana ini tersimpan puluhan kisah penuh hikmah. Di rumah sederhana ini kita bagaikan melihat miniatur kehidupan, memahami arti ujian dan cobaan, mendalami hakikat kasih sayang dan teguran yang sebenarnya. Di rumah ini, kita membiasakan akrab dengan kesedihan, berteman dekat dengan kesabaran dan terus belajar tersenyum meskipun hati terasa sesak oleh duka.
Pagi itu, matahari belum terasa terik ketika seorang pemuda datang seorang diri ke RSP, menanyakan apakah bisa dia tinggal disini. Pemuda itu menceritakan bahwa dia datang seorang diri dari pedalaman Kalimantan karena tiba-tiba pembuluh darah di matanya pecah sehingga muncul benjolan di bawah pelupuk mata. Dengan memakai kacamata hitam karena khawatir orang akan takut saat melihatnya, pemuda yang bernama Berli itu menceritakan bahwa dirinya sudah tidak miliki biaya lagi untuk menyewa kontrakan sekitar rumah sakit. Singkat cerita, karena sudah memenuhi syarat, Berly akhirnya tinggal menjadi pasien di RSP IZI Jatim. Beberapa minggu kemudian sang Adik, Hendra datang untuk mendampingi dirinya.
Berly sendiri masih berusia 25 tahun, namun sudah berjuang keras sebagai tulang punggung keluarga dengan bekerja di sebuah pabrik tambang di Kalimantan. Namun, ternyata Allah memiliki skenario lain, yang ketika kita menyadarinya saat ini tak ada kalimat lain yang bisa kita ucapkan kecuali rasa syukur dan pujian kepada Allah subhanahu wa taala.
Rasa sakit yang menimpa mas Berli ternyata adalah skenario Allah untuk menaikkan derajat beliau, tak hanya di dunia namun juga di akhirat. Allah tuntun mas Berly ke RSP IZI dan Allah bukakan pintu hidayah selama menjalani hari demi hari di rumah singgah ini. Setiap hari, kedekatannya dengan Allah semakin bertambah.
Suatu hari dalam sebuah obrolan, beliau pernah mengatakan, “Rasa sakit ini membuat saya lebih dekat dengan Allah dan membuat saya lebih banyak bersyukur.”
Saat adzan berkumandang, Berly adalah pasien yang paling sigap untuk ambil wudhu dan berkumpul di ruang tengah. Beliau bahkan sudah menjadi imam tetap RSP di setiap sholat jama’ah.
Di hari-hari terakhir, beliau sering sholat jama’ah di masjid dan mulai membenarkan makharijul huruf bacaan Al-Qur’annya. Selain ibadah yang rajin, mas Berli juga dikenal sangat baik dan ramah sehingga disukai oleh seluruh penduduk RSP.
Dan inilah akhir dari skenario Allah. Allah ambil nyawa Mas Berly di tengah proses hijrahnya. Allah panggil jasadnya di puncak penghambaannya.
Sore itu, tiba-tiba perut mas Berly membesar dan sakit luar biasa hingga harus dilarikan ke IGD. Malam harinya, mas Berly keluar dari IGD dan sempat ikut jama’ah sholat Isya di RSP dengan menahan rasa sakitnya. Pukul 22.00 malam sakit mas Berli kambuh lagi dan harus dilarikan ke IGD kembali.
Dan tepatnya pada hari Senin, 22 Oktober 2018 pukul 01.00 adalah waktu terakhir yang Allah berikan kepada mas Berly di dunia ini. 2 kalimat syahadat tuntas diucapkannya bersama dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Mas Berli kembali kepada Allah dengan keadaan terbaik, Insya Allah khusnul khotimah.
Kawan, bukan panjang pendeknya usia yang terpenting karena sepanjang apapun usia kita tak akan sebanding dengan panjangnya kehidupan saat di akhirat nanti. Waktu kita di dunia ini adalah ketetapan mutlak yang tidak bisa ditambah ataupun dikurangi.
Dari mas Berly kita belajar bahwa rencana Allah adalah yang terbaik. Mungkin jika mas Berly tidak sakit, dia tidak mendapatkan jalan hidayahnya. Maka, tetaplah berprasangka baik dan bersyukur atas apapun hal yang menimpa kita. Bersyukur bukan karena kita sehat, bukan karena kita kaya, atau karena kehidupan kita lapang, namun bersyukur karena kita adalah orang orang yang beriman.
Penulis: Rista Fitria Anggraini IZI Jatim
Editor: Ricky IZI Pusat
Leave a Reply