Tulisan ini terkait aktivitas amil zakat, dan ditulis sepanjang perjalanan dengan Argo Parahyangan, Jakarta – Bandung, Rabu, 18 September 2019, oleh Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)
“The happiness you feel is in direct proportion with the love you give” – Oprah Winfrey
Menjadi amil, atau menjadi apapun, tak ada jaminan bisa bahagia. Karena kebahagiaan adalah persepsi, sehingga untuk menjadi bahagia setiap orang bisa mengambil jalan yang berbeda-beda.
Walau kebahagiaan ini sifatnya abstrak, namun ia merupakan kebutuhan asasi umat manusia. Beragam cara dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan, sayangnya tak banyak yang benar-benar menemukannya dalam kehidupannya.
Tak sedikit orang menyangka bahwa bahagia itu ada pada banyaknya harta dan kekayaan. Sehingga orang-orang melakukan semua cara untuk mengunpulkan harta benda. Ia menyangka bahwa semakin banyak harta yang dimiliki maka ia semakin bahagia.
Orang-orang yang meyakini kebahagiaan bersumber dari harta benda ia akan mudah kecewa. Karena ternyata, kesenangan akibat dimilikinya harta benda, kekayaan atau jabatan yang diraih tak memberikan kesenangan yang lama. Rasa bosan segera akan datang dan ia laksana minum air laut, akan menuntut terus ditambah dan ditambah lagi.
Tidak ada kebahagiaan bertumpu pada nafsu dan kepuasan sesaat. Kebahagiaan jadinya nisbi dan hanya akan terlihat indah dimata orang lain. Para pelakunya, akan semakin mabuk kepayang dan terus menuntut lebih.
Hal ini akan sangat berbeda dengan kebahagiaan sejati, ia adanya di kedalaman sanubari. Dibingkai rasa syukur dan ikhlas menerima apapun anugerah dan rizki yang diberikan Allah SWT. Rasa syukur inilah yang membuat keteduhan jiwa seseorang sehingga tak silau dengan harta dan jabatan untuk terus dikejar dan terus dipenuhi. Di mata orang yang terus memelihara rasa syukur, harta itu amanah untuk ia kelola bagi dirinya dan keluarga serta sarana ia berbagi dengan sesama.
Di mata orang-orang yang mau merawat terus rasa syukur, bahagia itu ternyata sederhana. Ada benarnya kata Oprah Winprey seperti kutipan di awal, “Kebahagiaan yang kamu rasakan berbanding lurus dengan banyaknya cinta yang kamu berikan”. Artinya semakin banyak amanah harta dan kedudukan kita, idelanya selalu berbanding lurus dengan peran kita untuk berbagi pada sesama. Ada kemanfaatan yang terus meningkat seiring kebaikan dan anugerah rizki yang Allah limpahkan.
Menuju Kebahagiaan
Dalam Islam, kebahagiaan atau sa’adah, dalam tradisi ilmu tasawuf, seperti yang disampaikan Imam al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental Ihya Ulumiddin, merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam satu puncak ketakwaan. Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Puncak kebahagiaan manusia adalah jika ia berhasil mencapai tahap makrifat, telah mengenal Allah SWT. Tidak ada makrifat yang lebih nikmat daripada ma’rifatullah.
Kebahagiaan merupakan kedamaian dan keamanan serta ketenangan hati (tuma’ninah). Kebahagiaan mengakibatkan seseorang mengenal Allah. Kebahagiaan memunculkan keimanan. Pun, kebahagiaan merupakan pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam wahyu. Selain itu, juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan Pencipta.
Penjelasan kebahagiaan tadi semoga tidak dipandang rumit. Karena sesungguhnya ia sederhana saja, menjadi bahagia adalah dengan cara menjadi semakin baik keimanan-nya dan semakin soleh dan menempuh dan mengelola kehidupan kita. Dengan menemukan makna kebahagiaan sejati seperti tadi, hati dan jiwa kita akan mudah merasa senang dan tenteram. Jauh dari ketakutan dan kekhawatiran berlebihan atas dinamika kehidupan yang dijalani. Perasaan bahagia ini akan terpancar di wajah dan tubuh kita, mencerminkan diri yang bening hatinya dan jauh dari rasa iri dan nafsu atas harta secara berlebihan.
Kebahagiaan seiring dengan keyakinan pada Allah. Kebahagiaan akan hadir dalam kekhusyuan ibadah dan amal-amal kebaikan yang dikerjakan atas keyakinan yang kuat. Kebahagiaan merupakan kondisi hati yang dipenuhi dengan iman dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Allah SWT sudah mengingatkan, “andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertakwa maka pasti akan dibuka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ajaran-ajaran Allah. Maka Allah mengazab mereka karena perbuatan mereka sendiri” (QS al-A’raf [7]: 96).
Jika para amil hendak menuju pintu-pintu kebahagiaan, maka pertama-tama ia harus memperbaiki diri dan amalan-amalannya dalam kehidupan kesehariannya. Menempuh kebahagiaan dengan cara ini harus dilakukan dengan melaksanakan apa yang diwajibkan sebagai seorang hamba Allah yang taat dan juga sebagai amil yang baik. Perbaiki ibadahnya, dan perbaiki pula cara-cara kerja ketika ia berperan sebagai seorang amil.
Kedua, teruslah menjaga motivasi. Motivasi diperlukan untuk bisa berubah ke arah lebih baik. Motivasi juga dibutuhkan untuk memandu setiap keinginan perubahan untuk tetap di jalannya dan tak goyah oleh beragam rintangan yang menghadang.
Sumber motivasi bisa beragam bentuknya, bisa forum-forum pelatihan atau buku-buku. Namun kata Stephen Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, buku sekarang atau literatur motivasi modern kebanyakan laksana “plester”. Maksud plester di sini adalah cuma sebagai penutup luka tapi tak mengobati dengan sesungguhnya.
Bila kita lihat di toko-toko buku, tak terhitung buku-buku yang menjual motivasi kebahagiaan sebagai topik utamanya namun sebenarnya ia tak memecahkan masalah apa-apa. Para pembeli buku motivasi yang semangat membacanya membara di awal, diterapkan sebentar lalu tak lama kembali ke situasi awal sebelum membeli buku itu. Itulah yang disebut plester.
Kembali ke soal kebahagiaan amil, sejatinya para amil akan merasa bahagia bila ia telah menemukan arti hidupnya dan merasakan bahwa hidup tak hanya urusan diri sendiri dan keluarga namun juga soal kontribusi kebaikan pada sesama. Ketika seorang amil berfokus pada kehidupan yang penuh arti, maka kebahagiaan itu perlahan datang menghampirinya.
Fokus pada sesama, bukan hanya milik pegiat zakat dengan dasar ajaran agama. Orang-orang hebat di luar urusan agama pun seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg menemukan kebahagiaan sejatinya justru ketika mereka sukses lalu berfokus membantu banyak orang lain. Mereka jatuh bangun menuju kesuksesan dan setelah sukses mereka tak lupa untuk berdiri mendukung ribuan orang-orang yang membutuhkan.
Orang-orang terkaya di dunia seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg mengambil jalan kebahagiaan dengan cara mendukung banyak orang dan terus berbagi. Dengan cara ini mereka ingin mendapatkan kebahagiaan sejati dengan menjadi berarti bagi sesama. Kalau sudah begini, bagaimana amil tidak semangat berkolaborasi untuk membantu sesama lha wong mereka yang tak menjadikan agama sebagai dasar saja begitu membara semangatnya untuk membantu sesama.
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).
Leave a Reply