Mustahik adalah istilah untuk menyebut orang-orang yang boleh menerima penyaluran zakat atau sasaran zakat (masharif). Mengetahui siapa saja para mustahik merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan dengan pengelolaan harta dan distribusi kesejahteraan di tengah-tengah umat Islam.
Berikut adalah penjelasan ringkas mengenai 8 (delapan) asnaf oleh Biro Kepatuhan Syariah Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) :
1. Fakir dan Miskin
Sub judul ini khusus menjelaskan dua kelompok Mustahik sekaligus, fakir dan miskin. Menurut Sayid Sabiq (1977: 1/183), fakir dan miskin adalah orang-orang membutuhkan bantuan yang tidak dapat menucukupi kebutuhan dasar dan mendesak (al-hajah al-massah), untuk diri mereka sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkah mereka.
Kebutuhan dasar yang dimaksud antara lain makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, kendaraan, dan alat untuk bekerja.
Ulama bersepakat bahwa pembagian zakat diprioritaskan kepada fakir dan miskin, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai batasan fakir dan miskin. Menurut Jumhur ulama, fakir adalah mereka yang tidak mempunyai pendapatan maupun harta untuk mencukupi kebutuhan dasar untuk diri dan orang yang menjadi tanggungan nafkah, sedangkan miskin adalah mereka yang telah mempunyai pendapatan ataupun harta namun masih tidak mencukupi kebutuhan dasar untuk diri dan orang yang menjadi tanggungan nafkah.
Di antara bentuk-bentuk fakir miskin yang dapat ditemui saat ini antara lain seperti para pekerja yang berpendapatan di bawah standar, suami yang memiliki pendapatan tapi tidak cukup untuk orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, orang yang tidak mampu bekerja, anak yatim dan janda miskin, pelajar yang tidak mempunyai biaya, orang-orang yang tidak mempunyai biaya menikah, dan lain sebagainya.
Para fakir miskin tersebut diberikan zakat sampai tercukupi kebutuhannya. Hal itu sesuai dengan ucapan Umar bin Khattab RA, “Jika kalian memberi (zakat) maka kayakan (cukupkan) mereka!” (HR Ibnu Abi Syaibah 10425)
2. Amil
Amil adalah orang atau pihak yang bekerja atau bertugas untuk mengambil atau memungut zakat, mendistribusikan zakat, mengedukasi masayarakat, menghitungkan zakat, dan mendoakan para muzaki.
Dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, amil zakat boleh mendapatkan bagian dari dana zakat yang dikumpulkannya secara proporsional. Menurut Imam Al-Baghawi, At-Thahawi, Ibnu Syihab, Abu Ubaid, Al-Mawardi, dan lain-lain, Imam (pemimpin) memiliki kewenangan (ijtihad) dalam menentukan besaran porsinya.
Ketentuan tentang amil telah diatur dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 8 Tahun 2011.
3. Muallaf
Mustahik golongan ini adalah orang-orang yang diharapkan kecenderungan hatinya kepada Islam, keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, terhalang niat jahat mereka atas kaum muslimin, atau ada harapan kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.
Ragam muallaf yang dapat ditemui saat ini menurut Syaikh Al-Qardhawi antara lain orang yang diharapkan masuk Islam, orang yang dikhawatirkan berbuat buruk kepada Islam dan kaum muslimin, orang yang baru masuk Islam, tokoh muslim berpengaruh yang memiliki rekan non muslim agar ia masuk Islam, para tokoh muslim yang perlu dikuatkan komitmen keislamannya, kaum muslimin yang tinggal di perbatasan dengan negeri kuffar, dan umat Islam yang diharapkan bisa menarik zakat dari orang-orang yang enggan membayar zakat.
4. Riqab.
Riqab, kelompok mustahik ini adalah yang berhubungan dengan perbudakan. Bentuknya bisa dengan membantu budak mukatab membayar tebusan dirinya kepada tuannya, atau dengan membeli budak dari tuannya lalu dimerdekakan.
Sepintas perbudakan dengan cara klasik diyakini sudah tidak ada lagi, akan tetapi orang-orang yang tertindas dan di bawah kuasa orang lain masih bisa ditemukan. Perbudakan dalam pengertian konteporer bisa berupa tawanan muslim yang ditawan tentara musuh, orang dipenjara karena difitnah, pembantu yang disekap dan disiksa oleh majikannya, atau bangsa muslim yang dijajah oleh bangsa kafir.
Dalam perundang-undangan Republik Indonesia, human trafficking disebut sebagai bentuk perbudakan.
5. Gharim
Gharim artinya adalah orang yang terlilit hutang (debitur). Menurut para ulama, orang yang berhutang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu orang yang berhutang untuk kebutuhan dirinya sendiri dan orang yang berhutang untuk kebutuhan orang lain.
Imam Mujahid mengatakan mengenai orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya, Ada 3 (tiga) kategori orang yang berhutang; orang yang kehilangan hartanya karena banjir, orang yang tertimpa musibah kebakaran sehingga hartanya habis, dan orang yang punya tanggungan keluarga tetai tidak memiliki harta yang cukup sehingga harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.” (HR Ibnu Abi Syaibah 3/207)
Adapun orang yang berhutang untuk kepentingan orang lain seperti orang yang mengislahkan dua pihak dengan cara mengeluaran biaya tertentu, namun karena ia tidak memiliki biaya maka ia terpaksa berhutang. Contohnya adalah lembaga, yayasan, atau pihak yang mengelola pendidikan, lembaga sosial, rumah sakit, dan sejenisnya. Seseorang yang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan primer atau operasional lembaga tersebut maka termasuk kategori gharim.
Syarat seseorang dapat diberikan dana zakat dari asnaf gharim adalah:
- Hutang tersebut sudah jatuh tempo.
- Hutang tersebut untuk kebutuhan yang taat atau minimal mubah, bukan untuk maksiat.
- Tidak memiliki aset untuk menutup hutang itu.
Orang yang berhutang diberikan zakat sejumlah pokok hutangnya. Jika kreditornya merelakan, mengikhlaskan, atau hutangnya tersebut dilunasi pihak lain maka mustahik ini adalah wajib mengembalikan zakat yang diterimanya.
6. Sabillah
Sabilillah artinya adalah setiap jihad dengan segala bentuknya, seperti jihad dengan lisan, ekonomi syariah, pendidikan, jurnalistik, membangun fasilitas publik dengan tujuan dakwah, dan segala bentuk aktivitas lain untuk meninggikan kalimatillah.
Maka dari itu, setiap kegiatan atau profesi yang tujuannya meninggikan kalimat Allah SWT itu termasuk sabilillah, seperti para jurnalis, karyawan, da’i dan yang sejenisnya termasuk mustahik zakat. Selain profesi yang disebutkan, terdapat aktivitas lain yang tergolong fi sabilillah:
- Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan dakwah Islam.
- Mendirikan sarana publikasi melalui media massa yang berfungsi menandingi informasi yang merusak dan mencemarkan Islam.
- Menerbitkan dan menyebarkan buku Islam.
- Membantu para da’i.
- Membantu para mujahid yang berjuang untuk mempertahankan tegaknya risalah Islam.
Syaikh Mahmud Syaltut (Al-Islamu Aqidatan wa Syari’atan) menjelaskan bahwa termasuk sabilillah adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk membangun kemandirian umat Islam agar mandiri dan tidak tergantung kepada umat lain. Oleh sebab itu, pelajar dan mahasiswa yang mempelajari bidang keilmuan strategis baik syariah maupun yang lainnya dapat disupport dengan dana zakat meski mereka anak orang kaya.
Hal itu tidak dilarang dalam Islam karena berdasarkan hadits riyawat Imam Ibnu Khuzaimah (2368) dari Abu Said Al-Khudhri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Zakat tidak halal (disalurkan) kepada orang kaya kecuali karena lima (keadaan): Amil, gharim, orang kaya yang membelinya, Orang yang bekerja di jalan Allah, atau ada tetangga fakir yang menyedekahkan atau menghadiahkan kepadanya.”
Fi sabilillah memang bermakna jihad yang berarti membela agama dan negara dengan cara perang fisik. Akan tetapi, dana zakat tidak akan cukup untuk membiayai peralatan militer sementara semua itu sudah dicover oleh negara. Oleh sebab itu, dana zakat dapat disalurkan untuk kepentingan Islam lainnya sebagaimana disebutkan sebelumnya.
7. Ibnu Sabil
Menurut jumhur ulama, Ibnu Sabil adalah kinayah dari musafir yang bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Imam At-Thabari meriwayatkan dari Mujahid yang berpendapat bahwa ibnu sabil berhak atas zakat baik ia berkecukupan di negeri asalnya terlebih jika di negeri asalnya pun kekuragan.
Para ulama menetapkan beberapa kriteria seseorang disebut sebagai Ibnu Sabil sehingga boleh mendapatkan bagian zakat. Antara lain:
- Orang yang kehabisan bekal dan membutuhkan bantuan agar dapat sampai ke tujuannya atau kembali ke kampung halamannya.
- Perjalanan yang dia lakukan dalam rangka melaksanakan perintah atau ketaatan, bukan perjalanan untuk maksiat.
- Tidak menemukan orang lain yang bisa membantunya.
Contoh Ibnu Sabil saat ini adalah seperti para tuna wisma, kehabisan atau kehilangan bekal perjalanan, orang yang terusir dan meminta suaka, orang yang memiliki harta tetapi tidak mampu menguasainya karena disimpan di bank bermasalah, dan yang sejenisnya. (BKS IZI)
Leave a Reply