Sahabat IZI, di tengah tuntutan zaman yang semakin kompetitif, banyak orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anak sejak usia sangat dini. Anak usia dua atau tiga tahun sudah mulai masuk playgroup atau taman kanak-kanak dengan harapan mereka cepat bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Tapi, apakah benar menyekolahkan anak terlalu dini membawa dampak positif jangka panjang? Atau justru berisiko mengganggu tumbuh kembang emosional anak? Mari kita bahas lebih dalam.
1. Anak Bukan Miniatur Orang Dewasa
Psikolog keluarga Elly Risman menegaskan bahwa anak kecil, terutama balita, bukanlah miniatur orang dewasa. Otak mereka belum siap untuk dijejali konsep akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung. Yang mereka butuhkan justru adalah bermain, bergerak, dan berinteraksi secara natural dengan orang-orang di sekitarnya.
“Kalau anak dipaksa belajar hal yang otaknya belum siap, itu bisa merusak rasa ingin tahunya. Anak malah jadi stres dan kehilangan minat belajar,” kata Elly dalam salah satu seminar parentingnya.
2. Risiko Stres dan Gangguan Emosi
Dr. Aisyah Dahlan, seorang dokter dan pakar neuroparenting, juga mengingatkan tentang dampak kejiwaan anak yang terlalu cepat disekolahkan. Menurutnya, otak anak usia di bawah 7 tahun masih dalam tahap golden age untuk membentuk koneksi emosi, moral, dan spiritual. Jika di usia ini anak malah terlalu difokuskan pada aspek akademik, dikhawatirkan perkembangan bagian otak yang lain jadi terbengkalai.
“Anak yang terlalu dini sekolah bisa mengalami kelelahan mental, bahkan kecemasan. Mereka merasa harus selalu bisa, harus selalu benar, padahal otaknya belum siap ke arah situ,” jelas Aisyah.
3. Anak Butuh Main, Bukan Duduk Lama di Kelas
Coba bayangkan, anak umur 3-4 tahun disuruh duduk manis selama berjam-jam di kelas, belajar angka dan huruf, padahal mereka maunya loncat-loncat, gambar-gambar, atau main pasir. Itu seperti memaksa ikan manjat pohon. Ujung-ujungnya bukan cuma anak jadi bosan dan stres, tapi bisa muncul masalah perilaku.
Menurut banyak ahli, termasuk Elly Risman dan Aisyah Dahlan, anak-anak usia dini lebih cocok diberikan stimulasi lewat bermain aktif, bukan dibebani target akademik.
4. Anak yang Terlambat Sekolah Bukan Berarti Bodoh
Masih banyak orang tua yang takut anaknya “ketinggalan” kalau masuk SD-nya telat. Padahal kenyataannya, anak yang disekolahkan di usia yang lebih matang (misalnya setelah usia 6-7 tahun), justru lebih siap secara emosi dan sosial. Mereka biasanya lebih mudah mengikuti pelajaran karena otaknya memang sudah siap.
Anak-anak yang mengalami masa bermain yang cukup justru lebih kreatif, lebih mandiri, dan punya empati yang lebih tinggi karena dia belajar lewat pengalaman nyata, bukan hanya lewat buku.
Kesimpulan: Main Itu Penting, Sekolah Bisa Nanti
Menyekolahkan anak terlalu dini memang terdengar keren di permukaan. Tapi kalau dilihat lebih dalam, dampaknya bisa panjang dan cukup serius. Anak jadi cepat bosan belajar, mudah stres, bahkan bisa kehilangan masa kecilnya.
Elly Risman dan Aisyah Dahlan sama-sama sepakat bahwa yang paling penting di usia dini adalah kualitas interaksi anak dengan orangtuanya bukan seberapa cepat dia bisa baca tulis.
Jadi, kalau sahabat IZI punya balita, santai saja. Nikmati masa-masa main bersama mereka, peluk, bacakan cerita, dan ajak ngobrol. Karena itu semua adalah fondasi utama untuk kecerdasan dan kesehatan mentalnya kelak.
Ayu L Mukhlis
Sumber Referensi: Genmuslim.id | Geotimes.id | Jurnalmedan | Beberapa sumber seminar parenting online
Leave a Reply