Di sebuah sudut tenang di pinggiran Mesir, rumah-rumah sederhana menjadi tempat berlindung bagi mereka yang kehilangan segalanya. Di antara dinding-dinding yang kini menjadi saksi bisu, hidup para pengungsi dari Gaza Palestina yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka akibat tragedi kemanusiaan yang memilukan.

Salah satu dari mereka adalah Islam, seorang anak laki-laki berusia 13 tahun. Matanya berbinar saat bercerita tentang sekolahnya di Gaza, tentang guru favoritnya, dan tentang cita-citanya jika besar nanti. Namun kini, ia hanya bisa memandangi buku-buku lusuh yang dibawanya dari rumah, sambil berkata lirih, “Aku rindu sekolah…”
Di Mesir, jarak sekolah yang jauh dan keterbatasan biaya transportasi membuatnya sulit untuk melanjutkan pendidikan secara langsung. Melihat semangat belajarnya yang tinggi, Tim IZI menghadiahkan pembelian sebuah ponsel pintar kepada Islam. Harapannya, perangkat ini bisa membantunya mengikuti pembelajaran daring, membuka akses ke ilmu pengetahuan, dan menjaga semangat belajarnya tetap menyala di tengah keterbatasan.

Di sisi lain ruangan, duduk seorang kakek bernama Aba Islam. Tubuhnya lemah, luka-luka di kakinya belum sepenuhnya sembuh. Di Gaza, pelayanan medis sangat terbatas. Ia harus menempuh perjalanan panjang dan penuh risiko untuk bisa mendapatkan penanganan medis lanjutan di Mesir. “Aku ingin pulang,” bisiknya, “tapi Gaza bukan tempat yang aman lagi…”
Namun kisah paling menggetarkan datang dari seorang pemuda bernama Muhammad. Ia duduk di kursi roda, diam dan tenang. Konflik yang menimpanya merenggut satu kakinya, dan meninggalkan bekas luka di sekujur tubuhnya. Kulitnya masih menunjukkan jejak luka, dan gerakannya terbatas. “Aku tidak bisa lagi berjalan,” katanya pelan, “tapi aku masih ingin berjuang… untuk keluargaku.”

Dalam momen yang penuh haru, saya menghampiri dan menjabat tangan Islam dan Muhammad, lalu memeluk mereka dengan erat. Di dada saya, mereka bersandar, dan saya hanya bisa menahan air mata. Betapa pilunya menyaksikan anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil dengan riang, justru harus menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan. Dalam hati saya berdoa, semoga pelukan ini bisa sedikit menghangatkan luka mereka.
Kehadiran tim IZI membawa angin segar di tengah kesedihan yang menyelimuti. Dengan penuh kehangatan, mereka menyapa satu per satu keluarga pengungsi, menyampaikan bahwa mereka tidak sendiri. Sebanyak 140 paket bantuan tunai, pangan, dan pakaian musim dingin dibagikan kepada para pengungsi yang tinggal di rumah-rumah warga Mesir yang dengan tulus memberikan tumpangan.

Suasana berubah menjadi haru saat tim IZI mengunjungi kamp pengungsi di pelosok Mesir. Di sana, anak-anak menerima selimut hangat, ibu-ibu memeluk paket pangan dengan mata berkaca-kaca, dan para ayah mengucap syukur atas bantuan tunai yang bisa digunakan untuk kebutuhan mendesak.
Kunjungan ini bukan sekadar penyaluran bantuan. Ia menjadi momen kekeluargaan, di mana tawa dan tangis bercampur menjadi satu. Di akhir kunjungan, seluruh keluarga berkumpul untuk makan bersama dengan para tim Peluk Palestina Tanpa Batas, menikmati hidangan sederhana yang disiapkan dengan cinta. Di meja itu, tidak ada perbedaan—hanya rasa syukur dan harapan yang tumbuh kembali.

Acara ini ditutup dengan doa bersama, dipimpin oleh salah satu warga Gaza yang berkata dengan suara bergetar, “Ya Allah, berkahilah saudara-saudara kami di Indonesia. Mereka datang jauh-jauh ke sini, membawa harapan dan pelukan kemanusiaan. Balaslah kebaikan mereka dengan kebaikan yang lebih besar…”
Di tengah haru biru, para pengungsi menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Tim Peluk Palestina IZI, yang dipimpin langsung oleh Direktur Utama Wildhan Dewayana. Kehadiran mereka bukan hanya membawa bantuan, tapi juga membawa harapan, pelukan, dan cinta dari Indonesia untuk Gaza.
Demikianlah cerita mengharu biru dari saya di hari ke-2 mengunjungi para pengungsi Gaza di Mesir.
[Arman – GM Pendayagunaan IZI]

Leave a Reply