Oleh : Dr. Oni Sahroni, Lc., MA.
(Dewan Pengawas Syariah Inisiatif Zakat Indonesia)
Telah terbit di Koran Republika Senin, 16 Agustus 2021, hal 15
Pandemi Covid-19 terlebih diberlakukannya kebijakan PPKM cukup berdampak pada pendapatan setiap keluarga, baik terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Tidak halnya juga dengan para pedagang kecil (pedagang kaki lima) dan para pelaku UMKM yang terimbas secara langsung dari pandemi Covid-19.
Di antara kendalanya yakni, tidak bisa berjualan, atau karena memitigasi risiko kesehatan mereka, bahkan bisa juga karena tidak adanya pembeli. Di satu sisi, pedagang kecil banyak yang tidak bisa merambah ke pasar online atau sejenisnya, sehingga usaha yang selama ini mereka lakukan tidak lagi menjadi sumber pencaharian mereka.
Kesimpulannya, boleh berzakat dan bersedekah untuk usaha para pedagang kaki lima (pedagang kecil) yang diperuntukkan sebagai modal usaha agar mereka bisa menghidupi usahanya menjadi mata pencaharian mereka, dengan ketentuan sebagai berikut;
Pertama, penerima zakat atau donasi adalah mereka yang amanah dan profesional, kedua diberikan oleh Lembaga Zakat yang profesional dan mampu me-monitoring penyaluran zakat tersebut.
Hal-Hal harus juga didasarkan pada ketentuan penyaluran zakat dan sedekah. Pertama, Zakat disalurkan untuk penerima yang lebih atau paling membutuhkan, seperti duafa/ fakir miskin. Pedagang kaki lima yang usahanya terhenti karena pandemi itu merupakan duafa karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kedua, diberikan untuk kebutuhan duafa yang mendesak (al-Hajat al-Massah/ kebutuhan dasarnya), sebagaimana dijelaskan Standar Syariah Internasional AAOIFI; “Ini dengan syarat setelah kebutuhan mendasar para mustahik itu terpenuhi” (Standar Syariah Internasional AAOIFI no.35 tentang Zakat).
Para ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Hazm menjelaskan bahwa minimum kebutuhan yang harus diterima oleh duafa adalah kebutuhan darurat dan primer, seperti kebutuhan makan, rumah, kesehatan, dan pendidikan.
Imam Nawawi menjelaskan; “Sahabat-sahabat kami menjelaskan bahwa yang menjadi kebutuhan standar adalah makan, pakaian, rumah, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang wajib dimiliki sesuai dengan kondisi fakir dan miskin tanpa berlebihan, baik bagi si penerima maupun bagi orang-orang yang menjadi tangggung jawabnya.” (Al-Majmu’, 6/191).
Ketiga, disalurkan dengan penuh amanah dan proporsional, salah satunya dengan sinergi antar para pihak. Sebagaimana penjelasan Lembaga Fikih Islam; “Bagian dari upaya untuk memenuhi keinginan agar dhuafa terbebas dari kondisi kepapaan sehingga menjadi mandiri dan produktif, dan untuk memenuhi tuntutan modernisasi, maka harus dibuat rencana strategis untuk menyelesaikan kondisi kemiskinan ini dan mengubah para dhuafa menjadi orang-orang yang mandiri produktif. Dan zakat ini merupakan alat yang paling fundamental bagi setiap muslim” (Nadwah yang ke-13, Sudan, 2000).
Juga penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’; “ukuran atau standar minimal yang harus diterima oleh fakir miskin, sahabat-sahabat kami orang Irak dan Khurasan mengatakan fakir dan miskin ini diberikan donasi atau biaya yang bisa merubah kondisi mereka dari kepapaan menjadi orang mampu dan itu terlaksana jika mereka diberikan biaya-biaya seumur mereka dan inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i.”
Keempat, Takyif fikih, di mana zakat atau infak yang diberikan untuk tujuan modal usaha saat pandemi itu dikategorikan sebagai charity, karena pada umumnya usaha pedagang kaki lima terimbas pandemi dan tidak menghasilkan sehingga tidak ada sumber pendapatan. Persis seperti donasi langsung untuk kebutuhan darurat, tetapi bantuan ini lebih bersifat jangka panjang karena menghidupi sumbernya. Wallahu a’lam.
Leave a Reply