Mungkin kisah berikut ini sudah sering kita baca atau dengar, namun tetap saja menggugah untuk kembali disimak:
Seorang profesor menunggu di salah satu lounge bandara, di depannya duduk seorang ibu sudah agak tua, wajahnya tampak tenang dan keibuan. Sekedar mengisi waktu, sang profesor mengajak ibu itu bercakap.
“Mau pergi ke Jakarta, Bu ?”
“Iya, Nak. Hanya transit di cengkareng terus ke Singapura.”
“Kalau boleh bertanya, ada keperluan apa Ibu pergi ke Singapura?”
“Menengok anak saya yang nomor dua, Nak. Istrinya melahirkan di sana. Terus Saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa.”
“Puteranya kerja di mana, Bu?”
“Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura.”
“Berapa anak ibu semuanya?”
“Anak saya ada empat, Nak. Tiga laki, satu perempuan. Yang ini tadi anak kedua. Yang ketiga juga laki, dosen fakultas ekonomi, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan, jadi dokter spesialis anak.”
“Kalau anak sulung?”
“Dia petani, Nak. Menggarap sawah warisan almarhum bapaknya.”
Sang Profesor tertegun sejenak lalu dengan hati-hati bertanya: “Tentunya Ibu kecewa kepada anak sulung ya, Bu? Kok tidak sarjana seperti adik-adiknya?”
“Sama sekali tidak, Nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia, karena dari hasil sawahnya, dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana.”
Kembali sang Profesor merenung: Ternyata yang penting BUKAN Apa atau Siapa Kita, tetapi APA YANG TELAH KITA PERBUAT. Allah tidak akan menilai Apa dan Siapa kita, tetapi APA YANG KITA LAKUKAN.”
Dalam sebuah hadits telah jelas disebutkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
Sebagaimana dalam kisah di atas, sekalipun sang anak sulung hanyalah seorang petani yang mungkin tidak memiliki gelar akademis tinggi, tidak juga tinggal di luar negeri, namun apa yang ia lakukan sungguh bermanfaat untuk keluarga dan menjadikan adik-adiknya sebagai orang besar. Barangkali segala amal baik yang dilakukan ketiga adik-adiknya turut didapatkan oleh sang kakak sulung yang telah berkorban untuk menghidupi keluarga.
Sungguh aneh bukan, ketika kita lihat banyak orang yang terobsesi dengan gelar akademis, dengan harta kekayaan, dan juga dengan jabatan tinggi. Padahal Allah tidak melihat ketiga hal itu, melainkan pada apa yang kita lakukan untuk manusia lainnya. Maka, pertanyaan yang tersisa adalah… sudah seberapa besarkah kita memberi manfaat untuk sesama? (SH)
Leave a Reply