Diasuh oleh
Dr Oni Sahroni, MA,
Alumni Al-Azhar University, Anggota DSN MUI, Pengawas IZI
Assalamu’alaikum,
Semoga Ustadz sehat afiat. Saya ingin bertanya, saya pernah meminjam sejumlah dana
kepada seseorang. Pada saat pelunasan, saya
memberikan jumlah tertentu sebagai hadiah
atas jasanya meminjamkan kepada saya. Bagaimana hukum hadiah tersebut menurut syariah?
Hardianto, Bogor
Wa’alaikumussalam,
Bapak Hardianto yang dirahmati Allah SWT,
hadiah atau kelebihan pinjaman dibedakan
menjadi tiga bentuk. Pertama, menerima
tambahan pinjaman (hadiah) yang disyaratkan.
Seluruh ulama sudah konsensus (ijma’) bahwa
simpan pinjam dengan tambahan yang
disyaratkan itu, diharamkan. Ibnu Quddamah
menjelaskan ketentuan hukum ini, “Para ulama
sepakat bahwa setiap pinjaman yang disyaratkan ada tambahannya itu, diharamkan. (Ibnu Quddamah, al-Mughni ma’a Syarh al-Kabir,
4/36).
Hal ini sesuai juga dengan kaidah fikih,
“Setiap pinjaman yang memberikan manfaat
(kepada kreditur) itu termasuk riba’. Oleh karena itu, setiap pemberian hadiah yang diberikan debitur kepada kreditur sesuai dengan
perjanjian pada saat akad, maka hadiah ini
adalah bunga (riba) yang diharamkan.
Kedua, menerima tambahan pinjaman
(hadiah) tanpa disyaratkan. Ada banyak dalil
yang menjelaskan bahwa meminjam dengan
tambahan pinjaman tanpa disyaratkan dalam
akad itu boleh menurut Islam, bahkan termasuk
husn al-qadha (sebaik-baiknya pelunasan).
Hadits Rasulullah Saw dari Jabir ra, ia berkata,
“Aku mendatangi Rasulullah Saw yang mempunyai hutang terhadapku, kemudian ia membayar hutangnya dan menambahnya”. (Shahih al-Bukhari 3/153)
Ibnu Hazm menjelaskan, diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah dari Ismail
bin Khalid dari bapaknya, ia berkata, “Hasan bin Ali membayar hutangnya kepadaku dan dia menambahnya menjadi 80 dirham”. (Ibnu Hazm, al-Muhalla, 8/91)
Ketiga, memberikan hadiah sebelum
melunasi hutang. Hadits Rasulullah Saw dari
Abi Burdah bin Abi Musa, ia berkata, “Saya datang ke Madinah, kemudian saya bertemu dengan Abdullah bin Salam, ia berkata kepadaku, kamu sedang berada di daerah yang penuh dengan praktik riba. Jika engkau memiliki piutang terhadap seseorang, kemudian ia menghadiahkan kepadamu tabn atau syair atau qut,
maka jangan engkau ambil, karena itu termasuk
riba. (Shahih Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Manaqib Abdullah bin Salam, No Hadits 3530)
Hadits di atas menunjukkan bahwa pihak yang meminjamkan tidak boleh menerima hadiah dari pihak peminjam, karena ini termasuk riba. Dengan penjelasan tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa hadiah yang Bapak berikan kepada kreditur itu termasuk kategori yang kedua. Maka hadiah tersebut bukan termasuk riba, tetapi bagian sedekah dan husnul qadha, karena tidak pernah disepakati dalam transaksi
pinjaman dan diberikan di akhir (saat pelunasan). Wallahu a’lam
Leave a Reply