“Andaikata iman Abu Bakar ditimbang dengan iman seluruh umat Islam ini niscaya iman Abu Bakar lebih berat timbangannya”.
(HR. Baihaqi – pada Kitab Syuba’ul Iman)
Abu Bakar Ash-Shidiq merupakan sahabat Nabi pertama yang memiliki nama lengkap Abdul Ka’bah bin Abu Quhafah Utsman, setelah memeluk Islam namanya diganti menjadi Abdullah. Ia digelari Abu Bakar karena tergolong orang pertama dan terdahulu dalam memeluk Islam dari kalangan pria dewasa, dia bergegas (bakr) kepada Islam ketika diajak memasukinya tanpa ada keraguan sedikit pun. Nabi saw, bersabda, “Aku tidak pernah menawarkan Islam kepada seorang pun kecuali dia pasti ragu-ragu terlebih dahulu, kecuali Abu Bakar, karena dia tidak pernah meragukanku sedikit pun dengan perkataannya”.
Sementara julukan Ash-Shidiq (orang yang sangat jujur) sudah tersemat sejak pada masa Jahiliah. Di masa Jahiliah orang-orang Arab menjadikan Abu Bakar sebagai hakim dalam urusan diat, mempercayai keadilannya, kecerdasan akalnya dan kesucian dirinya. Kemudian pada masa Islam julukan itu lebih tepat daripada masa jahiliah, karena dia senantiasa membenarkan Nabi saw, seperti ucapannya yang paling terkenal ketika membenarkan peristiwa Isra Mikraj. “Kalau saja Muhammad pergi lebih jauh daripada itu niscaya aku membenarkannya”.
Setahun atau dua tahun sesudah tahun gajah, Abu Bakar dilahirkan. Ayahnya adalah Utsman bin Amru yang dijuluki dengan Abu Quhafah, nasabnya dan nasab Nabi saw bertemu pada Murah bin Ka’ab, sesudah enam orang kakek. Kedua orang tua Abu Bakar Ash-Shidiq berasal dari kalangan Bani Taim. Bani Taim adalah suatu kaum yang para prianya terkenal dengan ketulusan tutur kata dan adab, sedangkan kaum wanitanya terkenal dengan kesabaran dan pemuliaan kepada kaum pria.
Abu Bakar radiaullahu anhu juga dikenal akan lembut hatinya, penyayang dirinya, mencintai orang-orang lain dan mereka juga mencintainya, ditetapkan atas kebaikan, kelapangan, tawadhu’, dan kelembutan perangai. Dia tidak pernah bersikap sombong terhadap seorang pun, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam. Apabila ada orang yang memujinya maka dia merasa malu dan ketakutan melingkupi dirinya, lantas dia berkata kepada orang yang memujinya, “Aku lebih mengetahui diriku daripada kamu, dan Allah itu lebih mengetahui dariku daripada aku. Ya Allah ampunilah aku pada apa yang mereka ketahui dan apa yang tidak mereka ketahui darinya”.
Warga kota Mekah dan orang Arab lainnya mengetahui dan mengakui keutamaan serta kedermawanannya, keperwiraan dirinya, keberaniannya, dan pemberian bantuannya. Oleh karena itu anak muda dan oran tua menghormatinya, orang-orang menjadikannya sebagai hakim untuk memutuskan perkara-perkara penting. Mereka miminta perlindungan kepadanya dalam memenuhi berbagai kebutuhan, serta mengajaknya bermusyawarah dalam berbagai urusan penting. Walaupun demikian, pada diri Abu Bakar juga terkandung nafsu amarah, hanya saja dia berhasil mengalahkannya dan nafsu amarah itu tak dapat mengarahkan dirinya.
Kemarahan Abu Bakar ini biasanya terjadi dalam urusan yang benar. Sangatlah jarang kemarahannya terjadi karena kejengkelan hati atau kedongkolan perasaan. Abu Bakar menerangkan keadaan dirinya seraya memohon kemakluman orang tantangannya pada salah satu pidatonya. Dia berkata, “Ketahuilah bahwa aku ini mempunyai setan. Dia kadang-kadang menyerangku. Apabila kalian melihat aku marah maka jauhilah diriku”.
Umar bin Khathab bertutur, “Aku bersikap halus kepadanya pada sejumlah kasus kemarahannya. Itulah mengapa aku mengulang perkataannya di balairung Bani Sa’idah karena mengkhawatirkan terjadinya kemarahan Abu Bakar di tempat itu”. Sementara Ibnu Abbas ditanya tentang diri Abu Bakar, lantas dia menjawab, “Dia adalah pribadi yang baik secara total termasuk kemarahan yang terjadi pada dirinya”.
Pada masa jahiliah dan pada masa Islamnya, Abu Bakar dikenal sebagai orang yang tenang dan menyukai diam yang indah, menjaga kehormatan dirinya, dan menjauhi segala hal yang meragukan. Dia tidak pernah meminum khamr sama sekali dan tidak pernah sekalipun sujud kepada berhala serta menjauhkan dirinya dari kesalahan dalam bicara, sehingga ia tidak berbicara kecuali ketika meyakini bahwa perkataannya itu bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Abu Bakar mempunyai bagian yang sempurna dalam naluri ruhani di samping naluri akhlak dan akal, sehingga sempurna pada dirinya perangai kebaikan secara menyeluruh. Menjadi sempurna cabang-cabang iman lengkap dengan isinya. Oleh karenanya dia tampak di kalangan manusia sebagai sosok malaikat yang berjalan di antara mereka dalam ketawadhuan yang berlimpah. Dia bagaikan bintang di langit yang terlihat kemilau cemerlangnya di air.
Dia (Abu Bakar radiaullahu an’hu) tidak pernah melewatkan satu hari pun dari hidupnya sampai dia berbuat baik kepada tetangga dengan sedikit dari hartanya, atau bersedekah kepada anak yatim yang miskin, bersama dengan sekian banyak ibadah wajib dan nafilah yang dia kerjakan. Kita tidak bisa memperkirakan adanya satu hari yang terlewat yang ia lakukan di dalamnya demi membangkitkan kebaikan, kebajikan, dan cinta, baik dia ditanyai tentang itu maupun tidak.
Umar bin Khathab berkata, “Aku tidak pernah mendahului Abu Bakar dalam kebaikan sekali pun, ia selalu mendahuluiku.” Karena itu pula Ali berkata, “Dia adalah yang mendahului. Demi zat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidaklah kami mendahului menuju kebaikan sama sekali kecuali Abu Bakar mendahului kami kepadanya.”
Leave a Reply