Mulai pukul 12.00 Waktu Indonesia Tengah, awan mulai menggelayut pekat di langit dusun Dangiang Timur, desa Dangiang, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara. Nuansa dusun dipenuhi warna kelabu; saat warganya tengah sibuk menerima tamu dari Jakarta.
Tak ada lagi suara bising Tonggeret di siang hari. Begitu pun, hawa dingin mulai menyergap dusun Dangiang Timur yang bersiap melaksanakan sholat Dzuhur.
Suasana desa seakan memulai musim baru. Musim penghujan yang seharusnya dimulai beberapa bulan yang lalu serasa tak sanggup menahan diri.
Benar saja! Tetesan air dari langit mulai tampak. Di halaman rumah, di jalan-jalan, maupun di terpal musholla bekas posko IZI bermukim sebelumnya.
Gerimis seperlunya, lalu diikuti derasnya hujan : desa Dangiang pun memulai musim baru.
“Kalau hujan di sini (desa Dangiang), pasti bakalan awet,” terang Yoga, salah satu bocah dusun.
Kenang Yoga, hujan memang susah menghampiri desa. Tapi sekalinya hujan dimulai, airnya seakan tiada pernah habis.
Awalnya kami meragukan perkataan bocah kelas dua Madrasah Tsanawiyah tersebut. Namun hingga Maghrib menjelang, air di langit tak juga kunjung reda. Maka, terbukti lah apa yang dikatakan Yoga.
Hujan memang membawa berkah. Namun di satu sisi, musim penghujan membawa kemungkinan baru yang sama buruk.
Lombok baru saja dilanda gempa. Rumah-rumah runtuh; rata dengan tanah. Warga yang telah kehilangan atap bernaung, membangun kembali kediamannya dengan sisa bahan bangunan yang ada. Bahkan, beberapa diantaranya masih bernaung di bawah terpal. Tidak dapat dibayangkan kesulitannya menghadapi musim penghujan ini.
Untuk meringankan beban hidup warga desa Dangiang, IZI telah menyalurkan hunian sementara sebanyak 63 unit, bagi ibu dan bayi di bawah umur satu tahun. Namun itu masih terasa belum cukup; karena target 200 unit yang direncanakan berdiri bagi ibu-bayi dan lansia.
Dzul Ikhsan Relawan untuk Lombok
Leave a Reply