Menjadi anak seorang pemuka agama terbesar di suatu wilayah akan menimbulkan kebanggaan tersendiri baginya. Bukan tidak mungkin akan terlontar kata, ”Bapak saya adalah pemuka agama. Maka saya adalah ratu disini.” Atau mungkin, “Semua orang harus tunduk dan patuh pada apa yang saya perintahkan.”
Namun, secuil pun tidak muncul harapan seperti demikian. Sebab ayahnya adalah pemuka Yahudi di Madinah dari kaum bani Nadhir sedang anak perempuan itu mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mengetahui tabiat kaum Yahudi yang menjadikan kaum Muslim sebagai makanan empuk yang harus dilahap dengan secepat kilat. Lalu suatu waktu, terjadilah Perang Khaibar.
Perang yang menewaskan ayahnya, suaminya, saudara laki-laki serta pamannya. Perang selama 3 hari itu membuat banyak wanita menjadi janda dan anak-anak kehilangan ayah mereka. Bersedihlah hati kaum para wanita itu. Namun tidak bagi Shafiyyah binti Huyai.
Usai Perang Khaibar, Shafiyyah diarahkan oleh Bilal melewati lautan mayit. Ada jasad keluarga serta para pengikut kaum ayahnya. Kaum Yahudi yang masih tersisa nyawanya menjadi tawanan kaum Muslim dan diserahkan kepada Rasululllah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk Shafiyyah.
Melihat kedatangan Shafiyyah, Rasulullah bangkit dan menaruh jubah di kepala Shafiyyah. Beliau mendekati Bilal dan berkata, “Apakah kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang hingga membiarkan wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”
Kemudian Rasulullah mengambil keputusan mengenai rampasan perang, termasuk para tawanan. Rasulullah berkata pada Shafiyyah, “Pilihlah! Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu. Dan jika engkau memilih agama Yahudi, Insya Allah aku akan membebaskanmu supaya engkau bisa bergabung dengan kaummu,” tawar Rasulullah bijaksana.
“Ya Rasulullah, Aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai dari pada dibebaskan untuk kembali ke pada kaumku,” jawab Shaffiyah tegas. Rasulullah pun kemudian menikahi Shafiyyah dengan memberikan mahar berupa kebebasannya.
Setelah Rasulullah perkirakan rasa takut (pasca perang Khaibar) telah hilang pada diri Shafiyyah, beliau mengajaknya pergi menuju ke sebuah rumah yang berjarak enam mil dari Khaibar. Rasulullah menginginkan diri Shafiyyah ketika itu, namun dia menolaknya. Ada rasa kecewa pada diri Nabi karena penolakan tersebut. Kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanannya ke Madinah bersama bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shabba’ jauh dari Khaibar mereka berhenti untuk beristirahat.
Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul ‘urs. Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a, beliau menyisir rambut Shafiyyah, menghiasi dan memberi wewangian. Karena kelihaian dia dalam merias, Ummu Sinan Al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih dan cantik dari Shafiyyah. Maka diadakanlah walimatul ‘urs, maka kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega dan keju Khaibar hingga kenyang. (susi)
Leave a Reply