Pukul 06.30 waktu bagian Lombok Utara, debu beterbangan. Seiring latihan derap langkah pasukan kirab bendera Madrasah Hidayatul Muttaqien, debu itu terbawa angin dan menutupi sepatu mereka yang selamat dari bencana gempa.
Dua bulan semenjak lindur (red; gempa) besar merundung Lombok dan sekitarnya, Madrasah Hidayatul Muttaqien harus terus berbenah diri. Tiga lokal berdiri menjadi tempat belajar bagi 12 kelas (ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah). Mereka tetap bersyukur, karena dalam perjalanannya mendapat perhatian jua dari salah satu Lembaga Pengelola Zakat yang bernama Inisiatif Zakat Indonesia.
Sisa-sisa bangunan rusak dan fondasi lama pun dibersihkan, hingga tersisa tanah lapang. Sebagai info tambahan, pengerjaannya menghabiskan dana enam juta rupiah per hari. Hal itu mereka lakukan agar dikemudian hari; sekiranya datang donatur baik hati membantu, tanah itu siap menopang 12 lokal lainnya.
Untuk sementara, tanah lapang digunakan sebagai sarana latihan baris-berbaris. Siswi-siswi berseragam training, dan bercelana kargo tampak gagah; jalan berderap melintas lapangan. Begitu posisi barisan segaris tiang bendera, mereka berbelok teratur menuju potongan besi yang menancap seadanya ke dalam tanah tersebut.
Namun tampaknya, sang pengibar bendera lupa-lupa-ingat dengan protokol selanjutnya. Wajar saja. Dua bulan sudah mereka tak melakukan latihan baris-berbaris. Waktu mereka habis memikirkan hidup pasca gempa bersama keluarga.
Beberapa menit kemudian ingatan kembali pulih. Selangkah demi selangkah latihan protokoler pengibaran bendera jadi lancar. Tidak sempurna memang, tapi cukup untuk edisi perdana pasca bencana gempa yang menghampiri bumi Seribu Masjid.
Sekitar pukul 08.15 waktu setempat, upacara dilaksanakan (8/9). Lagu Indonesia Raya bernada fals dilagukan kala Bendera Merah Putih diangkat naik.
Anak-anak mengangkat sebelah tangannya di atas pelipis. Meski beberapa terlihat enggan, seluruh siswa Madrasah Hidayatul Muttaqien masih patuh pada protokoler yang ada. Mereka menghormati bendera kebangsaan. Jiwa mereka masih Merah-Putih.
Menengadah langit yang bergerak terik, wajah anak-anak itu berbasuh peluh. Mata mereka menyipit akibat terpaan sinar matahari. Seakan di wajah itu ada harapan bahwa negeri ini akan kembali pulih seperti sedia kala.
Dzul Ikhsan
Leave a Reply