Diasuh oleh
Dr Oni Sahroni, MA,
Alumni Al-Azhar University, Anggota DSN MUI, Pengawas IZI
Assalamu’alaikum,
Saya bekerja di lembaga keuangan konvesional. Pada beberapa kesempatan, saya
mendapatkan dana yang tidak jelas kehalalannya. Padahal saya menggunakan gaji saya untuk
keluarga dan terkadang kebutuhan sosial. Yang
ingin saya tanyakan, apa yang dimaksud dana
non-halal? Bagaimana hukum dana halal
bercampur dengan dana non halal? Bagaimana
peruntukan dana non halal? Bolehkah dana
non halal disalurkan untuk beasiswa
pendidikan atau kebutuhan konsumtif. Terima
kasih atas jawaban Ustadz.
Maryanto, Jakarta
Wa’alaikumussalam,
Bapak Maryanto yang dirahmati Allah SWT,
dana non-halal adalah setiap pendapatan yang
bersumber dari usaha yang tidak halal (al-kasbu
al-ghairi al-mayru’). Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) MUI menjelaskan beberapa
kegiatan usaha yang bertentangan dengan
syariah, di antaranya:
❇ Usaha lembaga keuangan konvensional,
seperti usaha perbankan konvensional dan
asuransi konvensional.
❇ Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi, tingkat
(nisbah) utang perusahaan kepada lembaga
keuangan ribawi lebih dominan dari
modalnya.
EDISI 1 APRIL 2016 23
KONSULTASI SYARIAH IZI.pmd 23 3/9/2016, 12:13 PM
24 EDISI 1 APRIL 2015
❇ Perjudian dan permainan yang tergolong
judi atau perdagangan yang terlarang.
❇ Produsen, distiributor, serta pedagang
makanan dan minuman yang haram.
❇ Produsen, distributor dan atau penyedia
barang-barang ataupun jasa yang merusak
moral atau bersifat mudharat. (Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Revisi
2006, Jakarta, diterbitkan atas kerja sama
DSN – Bank Indonesia, Cetakan 2006 hal
274)
Menurut pendapat yang rajih, jika dana
yang halal lebih dominan dari pada dana nonhalal, maka keseluruhan dana tersebut menjadi
halal karena dalil-dalil berikut:
❇· Kaidah fikih: ‘Hukum mayoritas sama seperti
hukum keseluruhan’. Kaidah tentang tafriq
shafqah (memisahkan transaksi halal dari
transaksi yang haram).
❇ Mashlahat: Raf’ul haraj wal hajah alammah (meminimalisir kesulitan dan
memenuhi hajat umum), di antaranya,
lingkungan dan pranata ekonomi masih
belum islami, regulasi tidak memihak LKS,
masyarakat yang belum paham ekonomi
syariah, industri konvensional yang mendominasi, sehingga transaksi dengan konvensional menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan
· Muro’at qowa’id al-katsrah wa al-ghalabah, maksudnya standar hukum adalah
bagian lebih dominan.
❇ Umum al-balwa, maksudnya dana halal
yang bercampur tersebut menjadi sulit.
Banyak para ulama yang menegaskan
tentang hal ini, beberapa ulama di
antaranya:
❇ Ibnu Nujaim berkata, “Jika terjadi di sebuah
negara, dana halal bercampur dengan dana
haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan
diambil, kecuali jika ada bukti bahwa dana
tersebut itu haram.”
❇ An-Nawawi berkata, “Jika terjadi di sebuah
negara, dana haram yang tidak terbatas
bercampur dengan dana halal yang terbatas
, maka dana tersebut boleh dibeli, bahkan
boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana
tersebut bersumber dari dana haram, jika
tidak ada bukti, maka tidak haram. Tetapi
meninggalkan perbuatan tersebut itu
dicintai Allah SWT.”
Para ulama menjelaskan bahwa dana nonhalal tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, dan
harus disedekahkan kepada pihak lain. Maksudnya, pendapatan non halal hukumnya haram.
Oleh karena itu, tidak boleh dimanfaatkan
oleh pemiliknya (pelaku usaha haram
tersebut) untuk kebutuhan (hajat) apa pun,
baik secara terbuka ataupun dengan cara
hilah, seperti digunakan untuk membayar
pajak.
Pendapatan non halal harus diberikan
atau disalurkan kepada pihak lain sebagai
sedekah. Sebagaimana penjelasan dalam
Standar Syariah AAOIFI Bahrain sebagai
berikut. Pendapatan non-halal tidak boleh
dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun, walaupun dengan cara hilah, seperti digunakan
untuk membayar pajak.
Sesuai juga dengan kaidah fikih, “Setiap
pendapatan yang tidak bisa dimiliki, maka
(pendapatan tersebut) tidak bisa diberikan
(kepada pihak lain)”.
Tentang penyaluran dana non-halal,
mayoritas ulama berpendapat, bahwa dana
non-halal hanya boleh disalurkan untuk
fasilitas umum (al-mashlalih al-ammah),
seperti pembangunan jalan raya, MCK.
Sedangkan sebagian ulama, seperti Syeikh
Yusuf al-Qardhawi dan Prof Dr al-Qurrah
KONSULTASI SYARIAH
24 EDISI 1 APRIL 2016
KONSULTASI SYARIAH IZI.pmd 24 3/9/2016, 12:13 PM
EDISI 1 APRIL 2015 25
Dagi berpendapat, bahwa dana non halal
boleh disalurkan untuk seluruh kebutuhan
sosial (aujuh al-khair), baik fasilitas umum
(al-mashalih al-ammah), ataupun selain
fasilitas umum, seperti hajat konsumtif faqir,
miskin, termasuk program-program pemberdayaan masyarakat.
Sumber perbedaan pendapat di atas
adalah status dan kepemilikan dana yang
disedekahkan tersebut. Bagi ulama yang
membolehkan penyaluran dana non-halal
hanya untuk mashalih ‘ammah, itu berdasarkan pandangan bahwa dana haram itu
haram bagi pemiliknya dan penerimanya.
Jika dana itu haram bagi penerimanya,
maka penerimanya tidak menggunakan dana
tersebut untuk kebutuhan pribadinya, tetapi
harus disalurkan untuk pembangunan fasilitas
publik yang dimliki oleh masyarakat secara
umum. Bagi ulama yang membolehkan
penyalurannya untuk seluruh kebutuhan sosial,
itu berdasarkan pandangan bahwa dana haram
itu haram bagi pemiliknya, tetapi halal bagi
penerimanya.
Jika dana itu halal bagi penerimanya,
maka penerimanya bisa menggunakan dana
tersebut untuk kebutuhan pribadinya,
termasuk kebutuhan konsumtif dan program
perberdayaan masyarakat. Pendapat kedua
ini memiliki landasan hukum baik dari aspek
nash dan maqashidnya, yaitu di antaranya :
1. Hadits Rasulullah Saw. “Sesuai dengan
ucapan Rasulullah Saw kepada sahabiyyah
Barirah ketika menyerahkan kepada Rasulullah Saw. Maka Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya daging itu termasuk sedekah dan
Rasulullah tidak mengambil sedekah. Kemudian Rasulullah Saw menjawab, ‘sesungguhnya barang ini sedekah baginya, dan
hadiah bagi kita.”
Hadits di atas memberikan dilalah (makna),
bahwa dana non-halal itu bisa disalurkan dan
dikonsumsi untuk / oleh pihak penerima sedekah seperti faqir, miskin dll.
2. Atsar.
Al-Hasan ra pernah ditanya tentang
taubat al-Ghal (orang yang mengambil harta
ganimah sebelum dibagikan atau sebelum
pasukan berpencar). Al-Hasan menjawab, “Ia
harus bersedekah dengan harta tersebut.”
3. Mashlahat.
a) Dana non-halal bukan milik pihak
tertentu, tetapi menjadi milik umum. Selama
bukan milik seseorang atau pihak tertentu,
maka dana tersebut bisa disalurkan untuk
faqir miskin dan pihak yang membutuhkan.
b) Dana non-halal itu haram bagi pemiliknya (pelaku usaha haram tersebut), tetapi
ketika sudah terjadi perpindahan kepemilikan, status dana tersebut halal bagi penerimanya, baik entitas pribadi, seperti faqir
miskin, ataupun entitas lembaga seperti
yayasan sosial, pendidikan.
Al-Qardhawi menjelaskan, “Menurut saya
dana non-halal itu kotor (khabits) dan haram
bagi pihak yang mendapatkannya, tetapi halal
bagi (penerimanya, seperti) orang-orang faqir
dan kebutuhan sosial. Karena dana tersebut
bukan haram karena fisik dana tersebut, tetapi
karena pihak dan faktor tertentu.”
c) Program pemberdayaan masyarakat
adalah penyaluran dana untuk tuntuk tujuan
jangka panjang sehingga manfaat yang
diterima lebih besar dan jangka panjang (fiqh
ma’alat dan fiqh aulawiyyat).
Atas dasar ini, maka dana non-halal bisa
dimanfaatkan untuk kebutuhan sosial apa pun,
termasuk kebutuhan beasiswa dan pendidikan.
Demikian Bapak Maryanto jawaban dari kami,
semoga telah menjawab pertanyaan Bapak
Leave a Reply