Agustus selalu menjadi bulan sakral bagi bangsa Indonesia. Mendekati tujuh puluh tiga tahun sejak bapak pendiri bangsa, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai generasi yang tidak menjadi bagian dari memperebutkan kemerdekaan, seharusnya menjadi kewajiban bagi seluruh elemen bangsa untuk tetap amanah dalam menjaga kemerdekaan.
Kemerdekaan hakikatnya bukan hanya mengusir kaum penjajah dan mengakui Indonesia sebagai negara mandiri. Lebih dari itu, kemerdekaan juga berarti mampu mandiri di bawah kaki sendiri atau lepas dari ketergantungan pihak lain. Saat ini Indonesia masih belum merdeka dari cengkraman kemiskinan, kelaparan, pendidikan dan rendahnya nilai tukar rupiah. Di lain sisi, negara selalu memberikan iming-iming bahwa bangsa ini akan mandiri, ekonomi meningkat dan angka kemiskinan menurun.
Kemerdekaan juga menjadi pencetus derita dan air mata. Kekayaan alam dimiliki negeri ini terkuras habis dan hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelompok elite saja. Sedangkan yang miskin tetap miskin. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu menghadirkan kesejahteraan sosial, karena bangsa ini menganut teori ekonomi pertumbuhan ke atas tetapi di samping terlupakan. Hampir di setiap pelosok negeri, terjadi eksploitasi alam yang tidak terkendali. Sebagian besar hutan terus mengalami kegundulan secara drastis. Minyak bumi dan beraneka barang tambang lainnya yang dahulu menjanjikan sebuah harapan, tidak juga dapat teroptimalkan untuk menciptakan kesejahteraan. Laju kerusakan alam berbanding lurus dengan kerugian negara. Pada saat yang bersamaan, ketimpangan kesejahteraan terus terjadi, ini dikarenakan kekayaan itu terkonsentrasi pada segelintir kelompok elite masyarakat saja.
Kondisi tersebut yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan abadi sejak zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan. Karena kemiskinan yang ada tidak disebabkan oleh budaya kemiskinan yang berakibat pada lemahnya mental juang kelompok yang disebut masyarakat miskin, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kehidupan sosial-ekonomi dirasakan tidak memberikan perlindungan bagi kelompok lemah, sehingga sangat mudah ditindas oleh golongan yang memiliki modal besar. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan keberlangsungan kehidupan masyarakat. Untuk itu, diperlukan sebuah sistem yang mampu mengatur kepemilikan harta, sehingga kesejahteraan dapat terdistribusikan dengan adil sebagaimana cita-cita kemerdekaan bangsa ini.
Maka diperlukan aksi nyata atas agenda pembangunan, dengan mengarahkannya pada perwujudan kesejahteraan masyarakat secara adil. Zakat merupakan kunci dari pembangunan sosial tersebut, dengan menjembatani antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sebuah agenda alternatif untuk menghadirkan Indonesia yang sejahtera. Memang itulah hakikat kemerdekaan yang kurang mendapat perhatian.
Hakikat dan Potensi Zakat
Zakat merupakan salah satu pilar syariat Islam yang memiliki kaitan dengan permasalahan tersebut. Zakat merupakan ibadah dalam Islam yang memiliki dimensi sosial-ekonomi. Zakat berfungsi sebagai media redistribusi kekayaan dari kelompok yang mampu (Aghniyaa) kepada golongan yang kurang mampu (Dhuafa) dan yang tertindas (Mustadhafin). Zakat merupakan institusi resmi syariat Islam untuk menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi yang berkeadilan, sehingga pembangunan ekonomi mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang merdeka.
Zakat seharusnya mampu menjadi agenda produktif dan inovatif secara berkelanjutan dalam menangani permasalahan kemiskinan masyarakat. Permasalahan yang terjadi adalah, saat ini banyak kalangan memahami konsep zakat dan pelaksanaannya sebatas hanya penyaluran semata. Sehingga mekanisme pemanfaatan zakat hanya bersifat konsumtif. Dari kenyataan tersebut, upaya potensial pengentasan kemiskinan yang mungkin dilakukan dari pemanfaatan zakat, adalah menggerakkannya pada sifat produktif dayaguna. Kemudian, diakhiri dengan beberapa rekomendasi kebijakan dan program tentang strategi pemanfaatan zakat menuju Indonesia sejahtera.
Dalam Islam, pelaksanaan zakat merupakan sebuah perintah Allah subhanahu wa taala yang memiliki pesan sebagai sebuah kewajiban yang mutlak harus dilakukan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman. Hakikat perintah yang disyariatkan dalam Islam menurut Sayyid Quthb, tidaklah patut dipertanyakan alasan mengapa hal itu ada oleh setiap mukmin yang baik. Tetapi, sikap yang harus ditunjukkan adalah menjalankannya dengan penuh ketaatan untuk mendapat keridhaan Allah subhanahu wa taala dan mencari hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut (Muhammad, 2004: 177). Karena itu, dalam mengkaji zakat, hal yang memungkinkan bisa dilakukan adalah dengan mencari hikmah dan implementasi dari perintah itu.
Zakat secara bahasa berarti suci (ath-thaharah), tumbuh dan berkembang (al-namaa), keberkahan (al-barakah), dan baik (thayyib). Sedangkan dalam rumusan fiqh, zakat diartikan sebagai sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu (Djamil, 2004: 6). Dari sumber dana sosial kaum muslimin yang ada, zakat merupakan elemen yang sangat penting. Pertama, zakat merupakan perintah yang diwajibkan kepada kaum muslimin yang mampu (Q.S. At-Taubah [9]: 103). Dalam konteks sebagai perintah, dana zakat memungkinkan untuk ditarik dari para muzakki. Sehingga akan memungkinkan dana zakat ini menjadi sumber utama dari dana sosial kaum muslimin.
Kedua, mengenai pemanfaatannya, zakat memilik aturan yang jelas mengenai siapa yang berhak menerimanya sebagaimana telah dirincikan Alquran ke dalam delapan asnaf penerima zakat (QS At-Taubah [9]: 60). Dalam pelaksanaannya, (pemanfaatan zakat) sering kali terpaku dan kaku pada konsep tersebut. Sebenarnya, pemahaman mengenai delapan asnaf penerima zakat sebagaimana tercantum dalam Alquran merupakan pencerminan kontekstual atas kondisi kesejahteraan masyarakat pada waktu tersebut. Sehingga, delapan asnaf yang tersurat dalam ayat tersebut merupakan gambaran kondisional dari kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah pada masa ayat tersebut diturunkan, karenanya perlu adanya kontekstualisasi dalam era pembangunan saat ini.
Sementara itu, dalam dimensi pembangunan masyarakat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan pengelolaan zakat yang baik, sangat dimungkinkan membangun suatu pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan pada saat yang bersamaan. Karena dalam kondisi riil, disadari bahwa tidak semua pelaku ekonomi dalam mekanisme tersebut akan memperoleh keberuntungan yang sama. Maka untuk menghadapi hal ini, zakat menjadi instrumen penting dalam rangka melakukan redistribusi pendapatan untuk meminimalisasikan perbedaan kesejahteraan yang merupakan efek dari aktifitas pasar. Melalui mekanisme ini, secara tidak langsung, pilar ukhuwah ummat Islam tengah terbangun, melalui solidaritas sosial dalam zakat.
Zakat sebagai sumber dana sosial kaum muslimin, sebenarnya, memiliki potensi yang besar bagi pendanaan aktivitas peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi kaum muslimin di Indonesia. Menurut perhitungan yang ada, potensi zakat Indonesia yang mencapai 217 triliiun.
Potensi tersebut menjadi obat yang manjur dalam mengentaskan kemiskinan. Besarnya potensi ekonomi yang terkandung dalam dana zakat menjadi keyakinan dan harapan untuk dapat dikelola agar meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat. Dan pada akhirnya zakat menjadi pencetus harapan hidup yang adil dan beradab. Namun potensi yang besar tersebut tidak berarti apa-apa jika tidak digali secara maksimal dan sadar.
Kemerdekaan Ekonomi
Kewajiban zakat dalam pembangunan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari pembangunan sosial. Zakat dalam pembangunan dan aktivitas ekonomi ditunjukkan untuk menciptakan harmoni antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi. Setidaknya, dalam pelaksanaan zakat, terdapat fungsi-fungsi dari pembangunan sosial yang secara umum terlihat dalam dua hal, yaitu agenda redistribusi harta kekayaan dan upaya pemberdayaan masyarakat.
Perintah zakat, pada dasarnya, merupakan sebuah upaya agar harta kekayaan dapat terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Islam tidak menginginkan harta kekayaan tersebut hanya beredar di kalangan tertentu saja dalam masyarakat. Sebuah peringatan yang justru tengah terjadi dalam dinamika ekonomi hari ini, di mana para pemilik modal dapat leluasa mengumpulkan modal mereka secara tersistematis dan mampu menikmati kesejahteraan yang sangat layak. Sementara, kelompok masyarakat miskin selalu tertindas karena mereka tidak memiliki modal (harta) sedikitpun untuk dapat menjalani kehidupan ekonomi mereka.
Terkait dengan redistribusi ini, Islam memandang bahwa status kepemilikan harta bukanlah otoritas absolut individu. Artinya, manusia bukanlah pemilik mutlak dari harta kekayaan yang mereka dapati. Semua itu merupakan titipan dari Allah SWT. Lebih lanjut, Islam menegaskan bahwa dalam harta yang diperoleh tersebut, di dalamnya, terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan. Karena itu, redistribusi harta kekayaan melalui zakat, dalam pandangan Islam, memiliki landasan yang jelas.
Adapun dalam pelaksanaannya, zakat tidaklah ditujukan untuk menghentikan kemajuan ekonomi, karena telah mengambil sebagian modalnya untuk pembangunan kesejahteraan orang lain yang kurang beruntung. Sementara, memanjakan orang-orang malas agar dapat terus hidup dalam budaya kemiskinan-nya. Pengalihan sebagian kepemilikan tersebut dimaksudkan agar setiap individu memiliki peluang untuk dapat berpartisipasi dan mengoptimalkan potensinya dalam aktivitas ekonomi. Islam, dalam konsep zakat ini, memandang bahwa kemiskinan bukanlah disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam melakukan proses produksi. Kemiskinan yang terjadi saat ini disebabkan karena mereka tidak memiliki akses untuk melakukan aktivitas ekonomi, dikarenakan ketiadaan harta sebagai modal bagi mereka. Karena itu, kran penyumbat akses menuju aktifitas ekonomi itu harus dibuka dengan redistribusi harta melalui penerapan zakat.
Dengan demikian, zakat merupakan sebuah model yang sempurna dan model itu harus ada pada negara yang merdeka. Karena penerapan zakat dalam kemajuan bangsa, mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi, bersamaan dengan pembangunan kesejahteraan sosial. Sehingga seluruh elemen bangsa ini merasakan kemerdekaan baik lahir maupun batin. Amin.
Referensi:
1. Tafsir fi Zhilalil Quran karya Syaikh Sayyid Quthb
2. Fikih Muamah dan Fikih Zakat karya Prof. Dr. Yusuf al Qaradhawy
3. Zakat Dalam Perekonomian Modern karya Prof. Dr. Didin Hafidhuddin
Leave a Reply