@Nana Sudiana (Direktur Akademizi & Associate Expert FOZ)
“Filantropi Islam tidak hanya menguatkan peran-peran lembaga-lembaga Islam yang membangun beragam program dan aktivitas, seperti madrasah, sekolah, klinik, panti asuhan, dan seterusnya, ia juga saat yang sama memperkuat pula Islamic-based civil society”
(Azyumardi Azra, Negara dan Filantropi Islam (2), Republika, 23 Mei 2013)
Di tengah bayang-bayang resesi ekonomi dunia yang diprediksi akan terjadi, perkembangan Zakat di Indonesia justru semakin meningkat. Selain semakin kuatnya peran organissai pengelola zakat yang ada di negeri ini, saat yang sama berkembang pula kreativitas dan inovasi dalam pendistribusian dan pendayagunaannya. Para amil pun, kini semakin berkembang baik, professional serta ter-standar kompetensinya secara nasional dibawah koordinasi BNSP yang berada dibawah Kementrian Tenaga Kerja.
Kini profesi amil telah memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta Kerangka Kualifkasi Nasional Indonesia (KKNI). Lalu apa artinya bagi para amil zakat?. Para amil penting untuk tahu, bahwa SKKNI ini adalah acuan yang menjadi standar dalam hubungannya dengan kemampuan kerja yang meliputi aspek keterampilan, pengetahuan dan sikap kerja yang sesuai dengan pelaksanaan tugasnya serta sesuai dengan persyaratan dari pekerjaan sebagai amil zakat. Standar ini juga mengacu pada tugas pokok dan fungsi amil zakat sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, SKKNI amil zakat ini merupakan standar kompetensi amil zakat yang berlaku secara nasional di Indonesia dan merupakan standar kompetensi bersifat lintas pengelola zakat.
Adapun KKNI merupakan acuan di dalam pengemasan SKKNI ke tingkat atau jenjang kualifikasi atau jabatan yang ada di dunia pengelolaan amil zakat. KKNI sendiri merupakan kerangka jengjang kualifikasi dari kompetensi yang mampu menyandingkan, melakukan penyetaraan serta mengintegrasikan bidang pendidikan, bidang pelatihan kerja dan pengalaman kerja, sebagai pengakuan kompetensi kerja yang sesuai dengan struktur pekerjaan dalam berbagai sektor. Dengan mengacu terhadap Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. adapun Kerangka Kualifkasi Nasional Indonesia (KKNI) amil zakat terdiri dari enam (6) jenjang kualifkasi yang meliputi jenjang kualifikasi Sertifikat ke 3 hingga dengan jenjang kualifikasi Sertifikat ke 8.
Ketika profesi amil semakin ter-standar dengan baik, idealnya, meningkat pula kepercayaan masyarakat pada pengelola zakat. Dengan begitu, kemampuan pengelola zakat pun bisa bertumbuh dengan baik seiring makin meningkatnya penghimpunan dana ZIS yang ada. Makin besar dana yang dikelola, akan seiring dengan makin banyak penerima manfaat yang akan merasakan manfaat zakat.
Periodesasi pengelolaan zakat cukup beargam cara memetakan dan menentukan durasi dan mulai waktu awalnya. Namun begitu, secara umum, pengelolaan zakat secara modern disebut sejumlah kalangan dimulai pada kurun waktu 90-an. Situasi itu, saat semua unsur pengelolaan lebih dominan pada adanya semangat inisiatif serta lebih fokus pada menjaga eksistensi kelembagaan. Bahasa lain soal eksistensi ini, adalah soal keberlangsungan Lembaga. Dengan cita-cita besar untuk sebanyak-banyaknya membantu mstahik, Lembaga-lembaga zakat saat itu, tampil seadanya dan lebih bernuansa perjuangan alias sukarela.
Periode berikutnya, periode revisi dan konsolidasi. Diperkirakan waktu yang terjadi berada di sekitar tahun 2000. Lembaga-lembaga zakat sudah mulai menyiapkan sistem pengelolaan lembaga serta mulai berupaya melakukan pelatihan-pelatihan secara ter-struktur. Di tengah ituasi itu, konsolidasi antar lembaga juga semakin intensif. Pertemuan-pertemuan serta pelatihan lintas lembaga semakin sering dilakukan. Di penghujung periode ini, muncul-lah regulasi pengelolaan zakat, yakni UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Periode ketiga, sekitar tahun 2010 ke atas. Di periode ini, regulasi zakat makin ketat, juga dinamika ekonomi digital juga semakin kuat berpengaruh pada tata Kelola zakat serta pada pengaturan amil zakat, baik soal kompetensi-nya juga soal keterkaitannya dengan sosial media. Banyak seleksi amil tak cukup dengan melihat kompetensi, attitude serta wawasan-nya. Ada pra-syarat baru, yakni historis di sosial media yang dimiliki.
Di fase ketiga ini, Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) lahir. Lembaga yang mengusung tagline “Dimudahkan, Memudahkan” kita beranjak usianya bertambah. IZI memasuki tahun ke-8 yang bila itu anak manusia, usia 8 tahun ini berada di tahap sekolah dasar level awal (sekitar kelas 2 atau 3). IZI masih harus terus belajar, agar bisa kokoh ketika tumbuh, juga mampu menebarkan kebaikan dan kemanfaatan yang semakin luas.
Tulisan sederhana, selain menjadi penanda moment Milad-nya IZI, juga berharap bisa memotret situasi IZI ditengah dinamika dunia zakat dan filantropi Islam di Indonesia. Dari gambaran yang ada, diharapkan IZI bisa memposisikan diri dengan baik agar bisa sesuai dengan lingkungan yang ada, serta mampu lebih optimal meningkatkan kemampuan pelayanan-nya, baik pada mustahik maupun pada muzaki.
Lansekap Baru Dunia Zakat Indonesia
Situasi dunia zakat dan filantropi Islam sangat dinamis. Pengelolaan zakat saat ini tentu berbeda jika kita bandingkan sepuluh tahun atau lebih jauh lagi ke era sebelumnya. Bila kita tengok masa-masa awal pengelolaan zakat dan filantropi Islam secara umum, pada periode terdahulu, terutama pada awal abad 20, filantropi Islam inilah yang menghidupi beragam ormas dan gerakan keagamaan atau aktivitas-aktivitas keislaman saat itu. Situasinya penuh semangat inisiatif dan diperkuat dengan wujud nyata sikap kegotongroyongan masyarakat Muslim saat itu.
Menjadi wajar, saat awal abad 20, ketika organisasi-organisasi Islam lahir di nusantara, lalu tumbuh bak kecambah di musim penghujan, spirit gerakan filantropi Islam-lah yang menjadi penyokong utamanya. Hal ini terbukti Ketika kita menengok pada moment tumbuh dan berkembangnya sejumlah ormas Islam seperti SI, Jami’at Khayr, Muhammadiyah, dan kemudian NU dan banyak ormas Islam lain, tradisi filantropi Islam lah yang menguatkan dan juga mendorong dinamikanya.
Perlahan tumbuh beragam aktivitas, juga program-program yang sangat baik bagi rakyat miskin yang mayoritasnya juga umat Islam. Penguatan ini kemudian tidak hanya membuat makin kokohnya lembaga-lembaga atau orams Islam, namun juga kian makin banyaknya sejumlah program atau bagunan-bangunan monumental yang dibangun dari basis dana filantropi Islam, seperti madrasah, sekolah, klinik, panti asuhan, dan seterusnya. Ini semua kata Azyumardi Azra, sesungguhnya akan juga sekaligus memperkuat Islamic-based civil society.
Civil society yang kadang diartikan sejumlah tokoh Islam dengan sebutan masyarakat madani memiliki peran penting ditengah dinamika masyarakat, apalagi seperti di Indonesia yang civil society-nya di isi lebih banyak oleh kelas menegah muslim yang masih sedang bertumbuh menjadi pribadi dan keluarga yang maju, harmonis dan sejahtera. Masyarakat sipil Muslim yang baik, akan menjadi modal bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka ini dengan kemampuan ekonominya yang semakin membaik, akan juga kemudian memiliki motivasi dan kesadaran untuk berbagi pada sesama sebagai bagian dari tanggungjawab sosial, juga keterpangilan jiwa kepedulian mereka.
Seorang Sosiolog Spanyol, Jose Casanova, memberikan analisanya terkait “deprivatisasi agama”. Ia mengatakan bahwa ada fenomena global pada tahun 1980-an, yang menandai agama-agama muncul kembali ke ranah publik. Kata Casanova, ada fakta, bahwa agama menolak untuk ditempatkan di posisi marjinal dan privat sebagaimana dikehendaki oleh teori-teori modernitas dan sekularisasi modern (Seligman & Casanova, 1994).
Casanova dalam argumen-nya justru membantah bahwa agar menjadi modern masyarakat harus menjadi sekuler, dan untuk itu agama harus ditempatkan di ruang privat yang nonpolitik. Dengan kata lain, Casanova ingin membantah bahwa sekularisasi bukanlah elemen intrinsik dari modernitas, karena masyarakat bisa menjadi modern tanpa harus menjadi sekuler.
Fenomena yang dicermati Casanova, juga dilihat oleh Azyumardi Azra. Menurut Azra, doktrin normatif teori sekularisasi perlu ditinjau ulang. Teori yang mengatakan makin kuat modernisasi maka akan mengarakan seseorang untuk menjadi semakin sekuler. Faktanya, sejak tahun 80-an, umat Islam Indonesia semakin menunjukan bahwa ada korelasi cukup kuat di antara peningkatan kesalehan keagamaan yang terlihat jelas dan luas di kalangan kaum Muslimin Indonesia. . Indikasinya nampak secara kasat mata, mulai dari kebangkitan kelas menengah Muslim, makin meluasnya pemakaian jilbab, kian meningkatnya jumlah jamaah haji dan umrah, makin semaraknya berbagai produk ‘syari’ah’ atau ‘halal’, dan terus menguatnya fillantropi Islam (Azra, 2018).
Donasi umat Islam yang seolah kecil dan tak banyak, ternyata bila dikumpulkan secara serius hasilnya bisa besar juga. Perjuangan Umat Islam Indonesia melalui filantropi Islam dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) pada kelanjutan-nya akan mampu juga menjadi sumbangan bagi penguatan kemajuan masyarakat madani ( civil society ) (Amelia Fauzia, 2013)
Kini, 8 Tahun Usia IZI
Tak terasa, kini usia Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) kini genap berusia 8 tahun. Walau IZI lahir pada 10 November 2014, aktivitas riilnya sendiri secara formal sebenarnya dimulai seusai mendapat legalitas sebagai LAZ Nasional pada 30 Desember 2015. Adapun nomor Surat Keputusan Menteri Agama RI yang diterima IZI adalah SK Menteri Agama RI No. 423 tahun 2015. Pemberian legalitasnya sendiri, karena terhalang libur akhir tahun, baru berlangsung pada Senin pagi (4/1/2016) di ruang Direktur Jenderal Bimas Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta. Penyerahan legalitas IZI secara langsung diberikan Prof.Dr.H.Machasin selaku Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama kepada Direktur Utama IZI Wildhan Dewayana.
Saat itu, yang juga ikut hadir dalam acara penyerahan Surat Keputusan ijin LAZ Nasional IZI adalah, Nana Sudiana (Direktur Pendayagunaan IZI), Ruly Barlian Thamrin (Direktur Edukasi & Kemitraan IZI), Suharyanto (Direktur Operasional IZI) dan Sri Adi Bramasetia selaku Dewan Pembina IZI. Hadir pula Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Bambang Sudibyo, serta Pimpinan LAZ Nurul Hayat dan Rumah Zakat yang juga saat bersamaan menerima SK Laznas.
Ijin ini merupakan gelombang pertama pemberian ijin dari Kementrian Agama RI setelah dimulainya era baru pengelolaan zakat dengan Undang-Undang Pengelolaan Zakat No 23 tahun 2011. Hal ini secara ketentuan, ijin dan aturan mengenai pengelolaan zakat di Indonesia yang sebelumnya disandarkan pada UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, dengan sendirinya menyesuaikan dengan UU Pengelolaan Zakat yang baru. Dengan demikian, semua LAZ yang sebelumnya sudah memiliki ijin, maupun LAZ yang baru akan mengurus ijin, aturan-nya mengikuti UU yang baru, yakni UU No.23 Tahun 2011.
Saat penyerahan SK Ijin LAZ, dalam sambutannya, Prof.Dr.H.Machasin, meminta Lembaga Zakat Nasional yang telah mendapatkan surat izin agar dapat menjadi lembaga zakat yang amanah dan mencapai standar penghimpunan zakat senilai minimal Rp 50 milyar dalam 1 tahun. Kata Beliau-nya : “Kami ucapkan selamat atas keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama sebagai lembaga amil zakat nasional dan tentunya Lembaga zakat yang telah mendapatkan izin ini dapat amanah karena dalam target pencapaiannya 1 tahun minimal Rp 50 Miyar. Ini kan amanah yang luar biasa”.
Di usianya hingga ke 8 tahun ini, IZI tetap akan menguatkan Core value IZI dalam berkhidmat bagi ummat – sesuai kemiripan pelafalan namanya – adalah “mudah”(easy) Tagline yang tetap akan diusungnya adalah ‘memudahkan, dimudahkan’. Kata ini walau terlihat sederhana, sejatinya bagai memiliki tuah. Ia menjadi pengingat, saat yang sama juga “senjata” agar terhindar dari bekerja asal-asalan dan seadanya.
Dengan membawa terus keyakinan ini, semoga akan menjadi do’a untuk seluruh keluarga besar IZI bahwa saat seseorang memudahkan urusan sesama, maka Allah SWT akan memudahkan urusannya, Insha Allah. Dengan tekad ini IZI juga berkehendak untuk terus mengedukasi masyarakat sehingga meyakini bahwa mengeluarkan zakat itu mudah, membangun infrastruktur pelayanan agar zakat dapat ditunaikan juga dengan mudah, merancang program-program yang efektif yang dapat menghantarkan kehidupan para mustahik agar menjadi jauh lebih mudah. Inilah parameter utama dalam mengukur kinerja pengabdian IZI bagi masyarakat.
Waktu pun terus berjalan, kini IZI telah memasuki periode kedua proses perijinan-nya, tepat setelah 5 tahun pertama periode ijin-nya selesai. Dengan ijin Surat Keputusan Kementrian Agama Republik Indonesia No. 950 Tahun 2020, periode kedua Lembaga ini pun kini mulai dijalani. Selama rentang perjalanan 8 tahun IZI, sudah ada 16 kantor perwakilan yang ada yang mewakili propinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Selain ber-operasi melalui kantor cabang atau perwakilan, IZI juga berjejaring, lewat sinergi kemitraan dengan sejumlah Lembaga pengelola zakat lain seperti di Papua Barat, Papua, NTB, Bali, Kalimantan Barat, Manado, Gorontalo, serta daerah-daerah lainnya.
Untuk SDM Amil, seiring kebutuhan SDM, kini secara jumlah terus juga bertambah. Rentang dari SDM tetap, kontrak hingga relawan kini berada di kisaran angka 200 orang, tersebar di kantor pusat maupun cabang. Adapun mustahik yang selama ini sudah dikelola IZI secara akumulatif sejak tahun 2016 berjumlah 861,383 jiwa. Mereka ini semua dilayani lewat beragam program yang ada seperti : program sosial, program Pendidikan, program Kesehatan, program dakwah serta program ekonomi.
Sejumlah program populis IZI seperti Rumah Singgah pasien (RSP), Beasiswa Mahasiswa tahfidz, Klinik HD serta Smartfarm kini semakin dikenal luas. Dengan usianya yang masih sangat muda, IZI harus diakui mampu memberikan kontribusi positif bagi mustahik, muzaki serta sesama amil zakat.
Tiga Langkah Kunci Untuk IZI
IZI yang ingin terus dikenal secara luas, setidaknya harus menyiapkan 3 (Tiga) langkah kunci untuk berkembang pesat : Pertama, terus meningkatkan kompetensi dan capacity building organisasi dan SDM-nya sehingga, IZI akan semakin tangguh dan memiliki reputasi atau jejak history yang baik selamanya.
Kedua, fokus untuk terus memperbaiki tata Kelola, pengendalian sekaligus pengembangan organisasi serta orang-orang yang ada didalmnya. Ketiga, menguatkan mitigasi risiko, terutama risiko reputasi yang akan berimbas pada nama baik dan kepercayaan Lembaga. Segmentasi IZI sebagian besar berada pada lapisan kelas menengah di Indonesia. Mereka bisa berwujud guru, dosen, serta professional lainnya. Sektor ini harus terus diperkuat seiring dengan adanya ancaman resesi ekonomi global.
Semoga semakin bertambahnya Usia, IZI makin maju dan semakin menjadi teladan di dunia filantropi Islam di Indonesia.
Semoga.
Referensi :
– Amelia Fauzia PhD, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013)
– Azra, A. (2018). Kesalehan dan politik: Islam Indonesia. Studia Islamika. https://doi.org/10.15408/sdi.v25i3.9993
– Seligman, A. B., & Casanova, J. (1994). Public Religions in the Modern World. Sociology of Religion. https://doi.org/10.2307/3711986 dalam
Leave a Reply