Ulama telah berijma’ bahwa waktu penyembelihan hewan qurban adalah setelah terbit fajar pada hari Ied (Al-Ijma’, Ibnul Mudzir, 2004, h.60). Selanjutnya proses penyembelihan dibolehkan setelah shalat Ied dikerjakan menurut Imam Malik (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, 2018, h.454). Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (ied) maka dia hanya menyembelih untuk dirinya, dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat maka sungguh ia telah sempurna ibadah qurbannya dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin.” (HR Bukhari 5546)
Adapun mengenai batas akhirnya menurut Imam Syafii dan Al-Auza’i adalah akhir hari Tasyriq (Bidayatul Mujtahid, h.453). Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS Al-Hajj: 28)
Juga sesuai dengan hadits Nabi SAW:
“Setiap hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.” (HR Ahmad 16751, Thabrani dalam Al-Kabir 1583, Baihaqi dalam Al-Kubra 10226)
Pada prinsipnya, jika daging qurban telah tersedia maka didistribusikan dengan segera dan tidak ditimbun untuk periode yang lebih lama supaya tujuan qurban itu tercapai, yaitu kebahagiaan dengan menikmati daging qurban (Opini Dewan Pengawas Syariah (DPS) IZI).
Rasulullah SAW pernah melarang daging qurban untuk disimpan atau diawetkan lebih dari tiga hari sehingga harus habis dimakan dan disedekahkan sebelum itu. Oleh karena perubahan situasi dan kondisi, pembagian daging qurban lebih dari tiga hari dengan cara disimpan atau diawetkan terlebih dahulu hingga dapat dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan menjadi boleh jika hal itu dinilai lebih maslahat.
Imam Abu Zakariya Al-Anshari mengatakan bahwa menyimpan daging kurban sebelumnya dilarang oleh Rasulullah SAW lebih dari tiga hari, setelah itu beliau membolehkan melalui sabdanya:
“Dahulu aku melarang kalian hal itu (menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari), karena orang-orang yang terburu-buru mendatangi kalian (daffah). Sekarang makanlah, sedekahkan, dan simpanlah!” (HR Abu Dawud 2812)
Imam Ar-Rafi’i berkata bahwa daffah adalah orang-orang baduwi yang datang dari desa ke kota. Mereka datang akibat kesulitan hidup selama satu tahun di pedesaan kemudian mendatangi kota pada hari raya Ied. Rasulullah SAW melarang daging untuk disimpan lebih dari tiga hari agar orang-orang Badui tersebut tidak pulang ke kampungnya dengan tangan hampa. Daffah juga dapat diartikan sebagai tamu yang datang. (Asna Al-Mathalib, n.d., h.546)
Rasulullah SAW menegaskan tentang keadaan yang melatarbelakangi larangan beliau dalam sabda yang lain:
“Barangsiapa yang menyembelih hewan qurban, janganlah ia menyisakan sedikitpun dagingnya di dalam rumahnya setelah hari (Tasyriq) yang ketiga.” Ketika tiba hari raya qurban tahun berikutnya, mereka (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami melakukan seperti tahun lalu?’ Beliu menjawab, ‘(Tidak), untuk sekarang, silahkan kalian makan, berikan kepada yang lain, dan silahkan menyimpannya. Karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan (kelaparan), sehingga aku ingin kalian membantu mereka.’” (HR Bukhari 5569)
Alasan larangan daging qurban untuk disimpan lebih dari tiga hari ditegaskan kembali oleh Aisyah RA ketika menjawab pertanyaan dari salah seorang sahabat:
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut di atas dan penjelasan ulama, bahwa pembagian daging qurban tidak semata-mata dibagikan setelah ia tersedia, melainkan memperhatikan hajat dan maslahat fakir miskin. Jika pada saat penyembelihan atau beberapa hari setelahnya kebutuhan fakir miskin akan daging telah tercukupi maka daging-daging tersebut boleh disimpan atau diawetkan untuk memenuhi hajat mereka di kemudian hari.
Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa pada dasarnya daging qurban dibagikan di wilayah penyembelihan. Tujuannya adalah kebahagiaan untuk fakir miskin dengan menikmati daging qurban tersebut. Akan tetapi, tidak dilarang apabila daging-daging itu dibagikan ke wilayah lain jika dipandang lebih maslahat. (Shahih Fiqh Sunnah, 2012, h.ii/380)
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat fakir miskin yang kehilangan akses untuk mendapatkan daging qurban secara langsung pada hari-hari dibolehkannya menyembelih qurban. Hal itu bisa disebabkan oleh jarak yang jauh atau persoalan lainnya. Untuk memenuhi hajat mereka, maka daging qurban dapat diawetkan atau diolah terlebih dahulu agar dapat disalurkan ke wilayah lain yang lebih membutuhkan agar tujuan ibadah qurban itu tercapai, terutama kemanfaatannya bagi fakir miskin.
Penyaluran daging qurban dalam bentuk olahan seperti rendang, kornet, atau sejenisnya seperti abon dibolehkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Pengawetan dan Pendistribusian Daging Qurban Dalam Bentuk Olahan.
Allahu A’lam.
Baca artikel lainnya
https://izi.or.id/abon-kita-qurban-izi-solusi-qurban-di-tengah-pandemi-chef-ragil-kualitas-daging-lebih-terjaga/
Leave a Reply