Bolehkah Bayar Zakat Dari Gabungan Nishab Emas, Perak Dan Uang ?
Berikut Penjelasaan Biro Kepatuhan Syariah LAZNAS Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) menjawab :
Zakat adalah ibadah yang diwajibkan kepada muslim yang memiliki harta berlebih, tepatnya mencapai nishab atau di atasnya. Apabila ia memiliki harta sebanyak angka tersebut, dan kepemilikannya sudah melewati satu haul, ia wajib mengeluarkan sebesar 2,5% untuk dibagikan kepada delalan ashnaf zakat atau mustahik.
Terdapat beberapa jenis harta yang secara ma’tsur telah ditetapkan menjadi obyek wajib zakat, seperti hasil pertanian, emas dan perak, barang perniagaan, hasil tambang, rikaz, dan hewan ternak. Setiap jenis tersebut terpisah dari jenis yang lain, sehingga tidak bisa digabungkan untuk menjadi satu obyek zakat. Selain itu, setiap jenis tersebut dibedakan mekanisme pehitungan zakatnya, mulai dari besaran nishab, penetapan haul, dan kadar wajibnya.
Sebagai contoh, seseorang tidak mungkin menggabungkan hartanya yang berupa hewan ternak yang belum mencapai nishab dengan emas dan peraknya yang juga belum mencapai nishab, karena keduanya berbeda jenis dan berbeda pula nishab dan kadar wajibnya.
Akan tetapi, muncul pertanyaan apabila seseorang memiliki harta yang sama jenisnya tetapi berbeda obyeknya (ain), seperti emas, perak, dan uang. Apabila seseorang memiliki emas, perak, dan uang, tetapi belum ada yang mencapai nishab kecuali bila ketiga harta tersebut dihitung mejadi satu berdasarkan nilai salah satunya, apakah tindakan tersebut dibolehkan secara syar’i?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan hal berikut ini:
- Pertama, yang menjadi acuan dalam penentuan nishab zakat emas dan perak adalah nishab perak, yakni 5 Uqiyah yang setara 200 Dirham atau 595 Gram. Hal itu disebabkan hadits-hadits yang menyebutkan besaran nishab perak lebih kuat dan disepakati kesahihannya (diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1405 dan Muslim 980) dari pada nishab emas.
- Kedua, konversi atau perbandingan berat antara Dirham dan Dinar adalah 7:10, sedangkan perbandingan nilai tukar Dirham dan Dinar adalah 10:1. Dengan demikian, nishab emas adalah 20 Dinar yang setara dengan 200 Dirham.
- Ketiga, emas, perak, dan uang memiliki fungsi yang sama dalam harta, yakni (1) sebagai penyimpan nilai (store of value atau ats-tsaman), (2) alat tukar (medium of exchange atau an-naqd), dan (3) satuan hitung (unit of account atau al-qiimah). Pada masa Nabi, mata uang yang paling banyak beredar adalah Dirham perak baru kemudian Dinar emas. Tidak ada perubahan nilai pada Dinar dan Dirham baik sebelum maupun setelah masa keislaman.
- Keempat, tidak ada yang mengingkari adanya kewajiban zakat pada uang simpanan, yang diqiyaskan kepada zakat emas, yakni senilai 85 gram emas, kadar 2,5%, dan ditunaikan ketika sudah mencapai haul.
Mengenai boleh atau tidaknya emas dan perak digabungkan untuk mencapai nishab, ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan sejumlah ulama lain membolehkan praktik tersebut. Sedangkan, Imam Syafii dan Dawud Azh-Zhahiri tidak membolehkannya.
Mereka yang membolehkan praktik itu berlandaskan kepada:
- Firman Allah:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menginfakkannya di jalan Allah maka berilah mereka kabar gembira dengan azab yang pedih.”
(QS At-Taubah [9]: 34)
Dalam ayat tersebut, Allah menggunakan redaksi يُنْفِقُونَهَا dengan dhamir mufrad muannats lil ghaib. Hal itu menunjukkan bahwa emas dan perak adalah satu jenis. Apabila keduanya adalah dua jenis yang berbeda, tentu redaksi ayat tersebut adalah يُنْفِقُونَهُمَا.
- Fungsi emas, perak, dan uang adalah sama, yakni sebagai tsaman (penyimpan nilai) dan qiimah (satuan hitung) untuk harta-harta yang lain. Meskipun ketiganya berbeda pada wujudnya, tetapi fungsi dan manfaatnya sama, sehingga digolongkan kedalam satu jenis dan hukum yang sama dalam zakat.
- Emas, perak, dan uang memiliki sifat berkembang (namaa’) dengan syarat agar diputar sebagai modal perdagangan. Meskipun barang-barang perdagangan nantinya akan terdiri atas bermacam jenis, semua itu dihitung menjadi satu untuk mencapai nishab. Apabila aset perdagangan (urudh tijarah) bisa disatukan untuk mencapai nishab, demikian pula dengan modalnya (nuqud).
- Menyatukan emas dan perak agar mencapai nishab bertujuan untuk menunjukkan bahwa seseorang tergolong kaya, sehingga zakat diwajibkan atas orang tersebut, berdasarkan keumuman sabda Nabi:
أَفضَلُ الصَّدَقةِ عن ظَهْرِ غِنًى
“Sedekah yang paling utama adalah dari orang yang tercukupi kebutuhannya (kaya).”
(HR Bukhari 5355)
- Emas dan perak, apabila nilainya telah mencapai nishab, masuk ke dalam golongan harta yang di dalamnya terdapat hak fakir miskin, berdasarkan keumuman firman Allah:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ. لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ.
“Dan orang-orang yang dalam hartanya ada bagian tertentu. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”
(QS Al-Maarij [70]: 24-25)
Khusus untuk uang, dengan melihat kepada sejarahnya, uang yang ada pada masa sekarang adalah turunan sekaligus pengganti dari Dirham dan Dinar. Keputusan Majma’ Fiqh Al-Islami yang diselenggarakan di Oman pada tahun 1407 H/1986 M mengatakan:
“Khusus untuk hukum mata uang kertas, sesungguhnya itu adalah uang seperti biasa, yang sepenuhnya memiliki sifat tsamaniyah (bernilai). Pada uang tersebut berlaku hukum-hukum syar’i yang ditetapkan kepada emas dan perak dalam hal riba, zakat, salam, dan seluruh hukum yang berlaku ada emas dan perak.”
Seorang ulama kontemporer, Hamd Faruq Asy-Saikh dalam risalahnya, Mulakhas Ahkam Az-Zakah, yang diterbitkan oleh Muassasah Al-Islah Al-Khairiyah, menyebutkan ada 6 kaedah dalam penghitungan zakat, dimana kaedah yang keenam berbunyi:
“Jenis-jenis harta yang memiliki kemiripan dikumpulkan ke dalam satu wadah (hitungan). Harta-harta berikut dengan berbagai macamnya yang mencakup rekening bank, uang tunai, aset dagang, emas, perak, ditambah dengan saham setelah diketahui nilainya, dihukumi dengan hukum yang sama dan dikumpulkan bersama-sama dalam satu wadah untuk diketahui nilai dan nishabnya. Hal itu dilakukan pada saat hari penghitungan zakat (di akhir haul apabila haulnya sama. Pent)”
Selain beliau, Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan pun secara umum membolehkan menggabungkan beberapa macam obyek zakat yang masih tergolong satu jenis.
Dengan demikian, apabila emas, perak, dan uang yang belum mencapai nishab boleh digabungkan supaya mencapai nishab kemudian dikeluarkan zakatnya, dengan syarat bahwa ketiganya memiliki haul yang sama.
Adapun ulama yang tidak membolehkan emas dan perak dihitung menjadi satu agar mencapai nishab, mereka berpegang kepada redaksi zhahir hadits:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أُوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Di bawah lima uqiyah tiidak ada kewajiban sedekah (zakat).”
(HR Bukhari 1405 dan Muslim 979)
فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَاراً، وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ، فَفِيْهَا نِصْفُ دِيَنارٍ
“Apabila kamu mempunyai 20 Dinar, lalu melewati haul, zakatnya ½ Dinar.”
(HR Abu Dawud 1573)
Menurut mereka, apabila seseorang memiliki perak tetapi belum mencapai 5 Uqiyah maka tidak ada kewajiban zakat sama sekali. Demikian pula apabila ia memiliki emas yang belum mencapai 20 Dinar, karena zakat dikenakan kepada emas atau perak yang sudah mencapai nishab saja.
Mereka juga mengqiyaskan emas dan perak kepada hasil peternakan dan pertanian yang masing-masing macamnya tidak bisa digabungkan untuk mencapai nishab, meskipun fungsi dan manfaatnya sama. Gandum tidak bisa digabungkan dengan kurma untuk mencapai 5 wasaq, begitu juga unta dan kambing tidak bisa digabungkan untuk mencapai 5 ekor unta atau 40 ekor kambing.
Kemungkinan menggabungkan hewan ternak dan hasil pertanian dengan aneka macamnya untuk digolongkan ke dalam satu jenis memang sulit. Selain berbeda pada nilainya, setiap macam obyek zakat tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda dan terpisah dari macam yang lain. Sifat kambing tidak sama dengan unta, begitu juga sifat gandum tidak sama dengan kurma. Berbeda dengan uang, emas, dan perak yang sifat dan fungsinya sama.
Salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam adalah menjadikan hamba-hamba Allah berbahagia di dunia dan akhirat (As-Sa’adatu fid Darain). Oleh sebab itu, berpegang kepada makna zhahir suatu dalil sudah benar, akan tetapi akan lebih baik apabila disertai dengan pertimbangan maslahat dan madharatnya, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup kaum muslimin secara umum.
Dalil-dalil umum telah mengisyaratkan bahwa orang kaya yang nilai hartanya telah mencapai nishab maka wajib mengeluarkan zakat. Apabila kewajiban ini dipersempit, dikhawatirkan akan menghalangi sampainya hak-hak fakir miskin dan juga asnaf yang lain.
Allahu A’lam.
Referensi:
- Al-Mabsuth. Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Syamsul Aimah As-Sarakhsi.
- Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi.
- Minhatul Alam fi Syarh Bulughil Maram min Adillatil Ahkam. Abdullah bin Shalih Fauzan.
- Mulakhas Ahkamiz Zakah. Hamd Faruq Asy-Syaikh.
- Uang; Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
- net. Fatwa no. 11736.
Leave a Reply