Diulas oleh Ustadz Dr. Oni Sahroni, M.A., di dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer halaman 63-65.
Bagian pertama: Harta Wajib dan Tidak Wajib Zakat (Bagian Pertama)
Ketiga, aset tersebut merupakan aset/pendapatan bersih. Agar menjadi pendapatan bersih, maka terlebih dahulu dikurangi kebutuhan mendasar donatur dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, utang jatuh tempo. Kriteria ini digunakan agar memastikan pemilik aset adalah orang yang berkecukupan. Maka, jika harta sudah mencapai nisab, tetapi setelah dikurangi kebutuhan mendasar dan utang, jumlahnya tidak mencapai nisab, maka ia tidak wajib zakat. Sedangkan jika seseorang berutang untuk kebutuhan mendasarnya seperti pendidikan dan kesehatan, ia juga tidak wajib zakat.
keempat, aset tersebut mencapai nisab sesuai dengan jenis zakatnya. Misal, nisab zakat perdagangan dan emas perak senilai 85 gram emas. Kelima, aset tersebut halal, bukan harta haram. Yang dimaksud harta haram ialah pendapatan dari usaha yang tidak halal seperti pinjaman berbunga, pencucian uang, korupsi, hasil judi, suap, dan kriminal. Kaidah harta wajib zakat ialah harus halal. Sehingga harta tidak halal kaidahnya berbeda, ia tidak boleh dizakati, tetapi diinfakkan seluruhnya kepada mustahik.
Penjelasan di atas memberikan kesimpulan bahwa harta yang tidak wajib zakat menurut mayoritas ulama ialah; (1) setiap aset yang digunakan untuk manfaat pribadi seperti kebutuhan mendasar (rumah, kendaraan, alat dapur, dan lain-lain); (2) alat produksi yang digunakan untuk perniagaan (tanah, bangunan); (3) setiap dana yang digunakan untuk kepentingan sosial/nirlaba; (4) piutang yang sulit untuk ditagih dan setiap aset atau dana yang ditahan oleh pihak lain; (5) perhiasan yang dalam batas kelaziman, jika sudah lewat batas lazim maka wajib zakat; (6) dana haram menurut mayoritas ulama.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply